Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 1 November 2025
Di tengah riuh dunia yang tak pernah diam, kebosanan adalah jeda sunyi yang menuntun kita pulang. Ia bukan musuh, melainkan pintu rahasia menuju ruang terdalam jiwa. Dalam kebosanan, waktu melambat, suara meredup, perhatian terhisap ke dalam, bawah sadar terbuka, dan bayangan bawah sadar mulai berbisik lirih. "Kebosanan adalah kondisi psikis yang membuka kanal menuju alam tak sadar, tempat simbol dan arketipe bersemayam" (Wulandari, 2023). Seperti kabut yang mengungkap lanskap tersembunyi, kebosanan membawa kita ke wilayah yang tak terjamah oleh kesibukan. Di sana, kita bertemu diri yang terlupakan.
Carl Jung menyebut kebosanan sebagai katalis individuasi; proses menjadi diri yang utuh. "Semakin kamu merasa bosan dengan hidupmu, semakin kuat keinginan kamu untuk lari dari kebosanan itu, itu semakin menguatkan tanda bahwa ada pesan penting yang ingin disampaikan oleh bawah sadarmu" (Jung, 1961). Sebagian besar orang akan lari, dan mencari distraksi, mencari hiburan keriuhan di luar dirinya. Padahal, jika dihadapi dengan takzim, diterima, dan didengar, kebosanan membawa pesan mendalam, dan mengajak untuk menengok ke dalam. Dalam diam mengamati ke dalam itu akan muncul lambang, simbol, citra, kecenderungan hati, intuisi, dan pesan yang tak bisa diakses lewat logika. Ketika diterima, kebosanan adalah ruang kosong yang justru penuh makna, tempat jiwa menyusun ulang serpihan eksistensi. Itulah cara Tuhan menyampaikan pesan.
Di era digital, kebosanan dianggap sebagai gangguan, sesuatu yang harus segera dihapus dengan hiburan instan. "Kebosanan memicu aktivitas imajinatif yang berperan penting dalam pembentukan identitas psikologis" (Setiawan & Hartono, 2022). Namun, "penghindaran terhadap kebosanan justru menghambat proses refleksi dan kontemplasi diri" (Nasrullah, 2024). Kita menjadi budak distraksi, pecinta buta keriuhan, kehilangan kemampuan untuk duduk bersama sunyi. Padahal, dalam kebosanan, kita belajar mendengar suara batin, bukan sekadar suara dunia. Ia mengajarkan kita untuk hadir penuh dan dalam, bukan sekedar ada tanpa sadar.
Kebosanan juga memiliki fungsi neuropsikologis yang penting. "Studi menunjukkan bahwa kebosanan merangsang jaringan default mode dalam otak, yang berperan dalam introspeksi dan pemrosesan memori autobiografis" (Smallwood & Schooler, 2015). Artinya, saat kita bosan, otak justru bekerja untuk memahami diri dan pengalaman hidup. Kebosanan bukan kekosongan, melainkan proses aktif yang mempertemukan kita dengan makna.
Konklusi dari semua ini adalah bahwa kebosanan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan tersembunyi. Ia adalah ruang transisi antara kesadaran dan ketidaksadaran, antara rutinitas dan refleksi. "Kebosanan adalah momen eksistensial yang memungkinkan manusia menyusun ulang narasi hidupnya" (Rahmawati, 2021). Kita perlu belajar untuk tidak melarikan diri darinya, tetapi menyambutnya sebagai sahabat perjalanan jiwa.
Dan kini, saat dunia terus berlari, mari kita berhenti sejenak. Duduk dalam kebosanan. Biarkan sunyi berbicara. Biarkan tayangan bayangan muncul. Biarkan jiwa menari dalam ruang yang tak terdefinisi. Karena di sanalah, dalam kebosanan yang hening, kita dapat menemukan diri yang sejati. Kita bukan sekadar makhluk yang bergerak, tetapi jiwa yang mencari makna. Dan kebosanan adalah cahaya yang menuntun kita pulang.
Referensi:
• Wulandari, S. (2023). Kebosanan dan Aktivasi Alam Tak Sadar. Jurnal Psikologi Transpersonal, 14(2), 88–102.
• Jung, C. G. (1961). Memories, Dreams, Reflections. New York: Vintage Books.
• Setiawan, R., & Hartono, D. (2022). Peran Imajinasi dalam Proses Individuasi. Jurnal Psikologi Analitik, 10(1), 55–70.
• Nasrullah, R. (2024). Distraksi Digital dan Krisis Kontemplasi. Jurnal Komunikasi Digital, 15(1), 23–38.
• Smallwood, J., & Schooler, J. W. (2015). The Science of Mind Wandering: Empirical Insights into the Default Mode Network. Annual Review of Psychology, 66, 487–518.
• Rahmawati, D. (2021). Kebosanan sebagai Momen Eksistensial. Jurnal Filsafat Kehidupan, 9(3), 101–115.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header