Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 6 September 2025.
Bahasa bukanlah jendela bening yang mengantar kita pada kebenaran objektif dunia. Ia lebih menyerupai kabut yang menari di antara pegunungan makna, membentuk siluet realitas yang tak pernah utuh. Dalam setiap kata, tersimpan jejak sejarah, kekuasaan, dan hasrat kolektif. Kita tidak berbicara untuk mengungkap dunia sebagaimana adanya, melainkan untuk membentuk dunia sebagaimana kita ingin dipahami. “Bahasa adalah konstruksi sosial yang tidak merepresentasikan realitas secara langsung, melainkan membentuknya melalui praktik diskursif” (Fairclough, 2013). Maka, ketika kita menyebut ‘rumah’, kita tidak hanya menunjuk bangunan, tetapi juga memanggil kenangan, rasa aman, dan luka yang tertinggal di ambang pintu.
Bahasa adalah alat negosiasi sosial. Ia menjadi medium untuk menyepakati norma, membentuk identitas, dan menegosiasikan kekuasaan. Dalam ruang publik, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan arena pertarungan makna. “Makna dalam bahasa tidak bersifat tetap, melainkan dinegosiasikan secara sosial dalam konteks interaksi” (Gee, 2014). Kata ‘merdeka’ diucapkan oleh seorang pejuang dengan semangat yang berbeda dari seorang birokrat. Bahasa, dalam hal ini, bukanlah cermin, melainkan palu dan pahat yang membentuk lanskap sosial kita.
Dalam ranah filsafat bahasa, pandangan bahwa bahasa adalah jendela realitas telah lama digugat. Wittgenstein, dalam karyanya yang monumental, menyatakan bahwa “arti sebuah kata muncul dari penggunaannya dalam proses komunikasi antar manusia” (Wittgenstein, 1953). Artinya, makna tidak melekat pada kata secara esensial, melainkan muncul dari praktik sosial. Bahasa bukanlah entitas metafisik yang mengungkap hakikat, melainkan permainan yang dijalankan dalam komunitas. “Bahasa adalah praktik sosial yang membentuk dan dibentuk oleh struktur sosial” (Halliday, 1978).
Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa kita tidak bisa mengklaim objektivitas mutlak dalam berbahasa. Setiap narasi, setiap istilah, membawa bias, kepentingan, dan perspektif tertentu. Dalam dunia akademik, hal ini menjadi penting untuk disadari agar kita tidak terjebak dalam ilusi netralitas. “Bahasa ilmiah sekalipun tidak bebas dari ideologi; ia mengandung asumsi dan struktur kekuasaan yang perlu dikritisi” (Bourdieu, 1991). Maka, tugas kita bukan mencari bahasa yang ‘benar’, melainkan bahasa yang jujur terhadap kompleksitasnya.
Bahasa, pada akhirnya, adalah cermin retak yang memantulkan serpihan-serpihan dunia. Ia bukan jendela yang transparan, melainkan mosaik yang dibentuk oleh sejarah, budaya, dan relasi sosial. Dalam setiap percakapan, kita tidak sedang mengungkap realitas, tetapi sedang menciptakannya bersama. “Bahasa adalah tindakan sosial yang membentuk dunia, bukan sekadar menggambarkannya” (Austin, 1962).
Dan di sinilah kita berdiri: di antara kata dan dunia, di antara makna dan kekosongan. Bahasa bukanlah jembatan menuju kebenaran, melainkan labirin tempat kita mencari arah. Ia mengandung kemungkinan, bukan kepastian. Maka, berbicaralah dengan kesadaran bahwa setiap kata adalah pilihan, setiap kalimat adalah tanggung jawab. Dalam dunia yang terus berubah, bahasa adalah satu-satunya alat yang kita punya untuk merajut makna dari kekacauan.
Referensi:
• Fairclough, N. (2013). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Routledge.
• Gee, J. P. (2014). An Introduction to Discourse Analysis: Theory and Method. Routledge.
• Wittgenstein, L. (1953). Philosophical Investigations. Blackwell Publishing.
• Halliday, M. A. K. (1978). Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. Edward Arnold.
• Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power. Harvard University Press.
• Austin, J. L. (1962). How to Do Things with Words. Oxford University Press.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header