Breaking News

PIKIRAN BUKANLAH HAKIM MORAL BAGI DIRINYA SENDIRI


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 30 Juli 2025.
Di dalam bentangan luas kesadaran manusia, di antara bisikan-bisikan yang tak terucap dan gelombang-gelombang pemikiran yang tak henti, bandul pikiran kita tak pernah diam. Ia berayun, kadang ke arah nalar yang jernih, kadang pula ke lembah absurditas (kekonyolan) yang tak terduga. Kita seringkali terbiasa mengukur setiap ayunan ini dengan timbangan moral, melabelinya sebagai "benar" atau "salah", seolah-olah setiap gagasan harus melewati gerbang penghakiman. Namun, di balik kecenderungan dikotomi ini, tersembunyi sebuah kebenaran yang lebih dalam, sebuah dinamika yang diungkapkan oleh Carl Jung: "Bandul pikiran berayun antara nalar dan absurditas, bukan antara benar dan salah." Ini adalah sebuah tarian abadi yang menantang pemahaman kita tentang kontradiksi batin, sebuah simfoni yang merayakan keutuhan jiwa, bukan kesempurnaan yang semu.

Kutipan Jung ini secara fundamental menantang kecenderungan manusia untuk mengkategorikan setiap pemikiran sebagai sesuatu yang secara moral "benar" atau "salah." "Pikiran, pada hakikatnya, adalah proses yang dinamis dan cair, menghasilkan berbagai ide dan asosiasi yang tidak selalu sesuai dengan kerangka logis atau etis yang kaku," (Jung, 1968). Fungsi utama pikiran bukanlah untuk menjadi hakim moral bagi dirinya sendiri, melainkan untuk memproses informasi, menciptakan makna, dan merespons dunia. Dalam proses ini, pikiran secara alami akan menghasilkan gagasan yang koheren dan logis (nalar), tetapi juga ide-ide yang tampaknya tidak rasional, aneh, atau bahkan bertentangan (absurditas).

Jung sering mengeksplorasi interaksi kompleks antara proses sadar dan tidak sadar. "Materi dari ketidaksadaran kolektif dan pribadi seringkali muncul dalam bentuk mimpi, fantasi, atau intuisi yang, pada pandangan pertama, mungkin tampak 'absurd' bagi kesadaran rasional, namun mengandung kebenaran psikologis yang mendalam," (Jung, 1969). Kontradiksi-kontradiksi dalam pikiran, seperti ambivalensi emosional atau gagasan yang saling bertentangan, bukanlah tanda kelemahan moral atau kesalahan, melainkan bagian alami dari lanskap psikis manusia. Mereka adalah manifestasi dari kompleksitas jiwa yang berusaha mengintegrasikan berbagai aspek pengalaman.

Memaksakan setiap pemikiran ke dalam kategori "benar" atau "salah" dapat menghambat proses integrasi psikologis ini. "Penghakiman diri yang berlebihan terhadap pikiran-pikiran yang dianggap 'salah' atau 'buruk' dapat menyebabkan represi, fragmentasi psikis, dan penghambatan pertumbuhan pribadi," (Rogers, 1961). Ketika kita menolak atau menyensor bagian dari diri kita yang menghasilkan "absurditas" ini, kita kehilangan kesempatan untuk memahami pesan tersembunyi yang mungkin terkandung di dalamnya. Ini menciptakan konflik internal yang tidak perlu, membuang energi yang seharusnya digunakan untuk perkembangan diri.

Maka, menerima ayunan bandul pikiran antara nalar dan absurditas adalah langkah penting menuju kesehatan psikologis dan keutuhan diri. "Individuasi, sebagai tujuan utama psikologi analitis Jung, melibatkan proses integrasi aspek-aspek yang berlawanan dalam diri, termasuk sisi 'gelap' atau 'tidak rasional' dari jiwa, untuk mencapai keutuhan yang lebih besar," (Siegel, 2012). Sebuah pikiran yang sehat tidak menolak absurditasnya, melainkan memahaminya sebagai bagian dari totalitas pengalaman manusia, menemukan kebijaksanaan bahkan dalam kontradiksi yang paling membingungkan. Keutuhan jiwa tidak ditemukan dalam kesempurnaan yang steril, melainkan dalam keberanian untuk menjelajahi setiap sudut pikiran, merayakan kontradiksi sebagai bagian dari tarian kehidupan, dan menemukan kebijaksanaan di antara yang tampak tidak masuk akal.

Referensi:
• Jung, C. G. (1968). Man and His Symbols. Dell Publishing.
• Jung, C. G. (1969). The Archetypes and the Collective Unconscious (Vol. 9, Part 1 of The Collected Works of C. G. Jung). Princeton University Press.
• Rogers, C. R. (1961). On Becoming a Person: A Therapist's View of Psychotherapy. Houghton Mifflin.
• Siegel, D. J. (2012). The Developing Mind: How Relationships and the Brain Interact to Shape Who We Are (2nd ed.). Guilford Press.
________________________________________
”MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM