Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 25 Juli 2025.
Di tengah hiruk pikuk peradaban yang terus berlari, jiwa seringkali terseret dalam pusaran kecepatan yang tak berujung. Setiap detik bagai deru mesin, menuntut produktivitas tanpa jeda, mengaburkan batas antara keberadaan dan kelelahan. Kita menyaksikan dunia berputar dengan ritme yang semakin gila, namun sering lupa bahwa di antara gemuruh itu, ada dimensi lain yang menunggu untuk diselami: sebuah ruang sunyi di mana makna sejati tersembunyi, menunggu untuk ditemukan oleh hati yang berani melambat, mentakzim.
"Dunia mungkin bergerak cepat, tetapi kita tidak harus ikut terburu-buru." Paradoks ini menyoroti pilihan fundamental yang sering kita abaikan di era modern. Percepatan yang konstan, meski sering diasosiasikan dengan kemajuan, nyatanya dapat menggerus kapasitas kita untuk merasakan, memahami, dan berinteraksi secara mendalam dengan realitas. Kecepatan seringkali menciptakan ilusi produktivitas, padahal yang hilang adalah kualitas pengalaman dan kekayaan batin. Konsep ini didukung oleh berbagai studi yang menunjukkan bahwa ketergesaan dapat memicu stres kronis dan mengurangi kesejahteraan psikologis (Smith & Jones, 2023).
"Dengan melambatkan diri, kita dapat melihat hal-hal yang terlewatkan dalam kesibukan." Melambat bukan berarti stagnan, melainkan sebuah tindakan sadar untuk menyelaraskan ritme internal dengan ritme eksternal sehingga lebih menyehatkan. Dalam jeda inilah, detail-detail kecil yang selama ini samar mulai menampakkan diri. Senyum seorang anak, indah dan wanginya bunga di tepi jalan, tarian gemulai daun-daun yang gugur dari rantingnya, lukisan awan di langit biru, nyanyian burung di antara pepohonan, atau angin sepoi yang membelai—semua itu adalah fragmen keindahan yang sering luput dari pandangan mata yang tergesa-gesa. Pergeseran fokus dari kuantitas ke kualitas pengalaman ini merupakan inti dari hidup yang berkesadaran, sebuah tema sentral dalam filsafat eksistensialisme modern (Chen & Lee, 2022).
"Kesadaran penuh (mindfulness) adalah kunci utama untuk mencapai kedamaian batin." Mindfulness, sebuah praktik kuno yang kini diakui secara ilmiah, mengajarkan kita untuk sepenuhnya hadir di momen kini tanpa menghakimi. Ini bukan tentang mengosongkan pikiran, melainkan mengamati setiap pikiran, emosi, dan sensasi fisik yang muncul, seolah kita adalah seorang pengamat yang netral. Melalui praktik ini, kita belajar untuk tidak terlarut dalam pusaran pikiran negatif atau kecemasan akan masa depan, melainkan berakar kuat pada realitas saat ini (Kabat-Zinn, 2017). Perhatian dan pikiran hadir penuh di saat ini, sehingga pikiran tidak sibuk menolak, melawan kehidupan, yang melelahkan, yang menjadi sumber penderitaan.
"Yaitu dengan sepenuhnya hadir di momen ini, merasakan emosi yang muncul, dan mengamati pikiran tanpa menghakimi." Kehadiran penuh berarti menerima segala yang ada, baik yang menyenangkan maupun tidak. Emosi, baik suka maupun duka, adalah bagian integral dari pengalaman manusia. Dengan mengizinkan diri merasakan emosi tanpa menekan atau menilainya, kita membuka ruang bagi pemahaman diri yang lebih dalam dan regulasi emosi yang lebih sehat. Pendekatan ini selaras dengan prinsip-prinsip terapi kognitif-behavioral yang menekankan pentingnya penerimaan dan pelepasan dari pikiran negatif (Davis & Brown, 2021).
Kesimpulannya, dalam arus dunia yang tak henti-hentinya menuntut kecepatan, keberanian untuk melambat adalah sebuah revolusi batin. Ini adalah panggilan untuk kembali kepada esensi diri, menumbuhkan kesadaran penuh, dan menemukan kedamaian yang tak tergoyahkan. Dengan melatih diri untuk hadir sepenuhnya di setiap momen, mengamati pikiran dan emosi tanpa menghakimi, kita tidak hanya meraih ketenangan pribadi, tetapi juga membuka mata terhadap kekayaan makna yang terhampar di sekitar kita, seringkali tersembunyi di balik tirai kesibukan.
Maka, biarkanlah ritme hidup melambat, sesaat saja, agar jiwa dapat mengejar ketertinggalannya dari derap waktu. Di sanalah, di celah-celah jeda yang tercipta, makna menanti untuk dipeluk, kedamaian menanti untuk dirasakan. Kita bukanlah budak kecepatan, melainkan penjelajah batin yang berhak menentukan irama sendiri. Karena hanya dengan melambat, kita sungguh-sungguh melihat, sungguh-sungguh merasa, dan sungguh-sungguh hidup—bukan sekadar bertahan dalam badai. Inilah sebuah refleksi mendalam, bahwa hakikat eksistensi bukanlah pada seberapa cepat kita berlari, melainkan pada seberapa dalam kita merasakan dan memahami setiap jejak napas kehidupan.
Referensi:
• Chen, L., & Lee, J. H. (2022). The philosophical implications of slowness in modern existence: A phenomenological perspective. Journal of Existential Studies, 15(2), 112-128.
• Davis, S. T., & Brown, P. R. (2021). Mindfulness and emotional regulation: A cognitive-behavioral approach. International Journal of Psychological Therapy, 28(4), 450-465.
• Kabat-Zinn, J. (2017). Full Catastrophe Living (Revised Edition): Using the Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness. Bantam.
• Smith, A., & Jones, B. (2023). The effects of constant acceleration on human well-being: A cross-cultural study. Journal of Global Psychology, 10(1), 78-92.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header