Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 31 Agustus 2025.
Di tengah gurun intelektual yang ditinggalkan oleh badai postmodernisme, kita berdiri seperti pengembara yang kehilangan kompas. Modernisme pernah menjanjikan kepastian melalui sains dan rasionalitas, namun meninggalkan kita dalam reduksionisme yang kering, tanpa keteduhan, tanpa hati. Postmodernisme datang sebagai badai kritik, meruntuhkan narasi besar, menertawakan kebenaran, dan membungkus segalanya dalam ironi. “Postmodernisme adalah ketidakpercayaan terhadap narasi universal dan keterikatan pada konteks, relasionalitas, dan sistem” (Dember, 2019). Namun, setelah debu ironi mereda, yang tersisa adalah kerinduan akan makna yang tulus—dan di sinilah metamodernisme mulai menyalakan obornya.
Metamodernisme hadir sebagai gerakan yang mencoba memulihkan subjektivitas dari jarak dingin postmodernisme, sambil menolak reduksionisme ilmiah modernisme. “Metamodernisme adalah osilasi antara modernisme dan postmodernisme, antara harapan dan ironi, antara ketulusan dan skeptisisme” (Vermeulen & van den Akker, 2010). Ia tidak menolak kritik, tetapi juga tidak membiarkan kritik membunuh kemungkinan untuk percaya. Dalam seni, sastra, dan filsafat, metamodernisme mengizinkan kita untuk merasakan sekaligus menganalisis, untuk percaya sambil tetap sadar akan keterbatasan keyakinan itu.
Gerakan ini juga menandai pergeseran cara kita memandang kebenaran. Jika modernisme mencari kebenaran tunggal dan postmodernisme membongkarnya menjadi serpihan, metamodernisme mengajak kita untuk menari di antara serpihan itu, membentuk mosaik makna yang terus bergerak. “Kebenaran dalam metamodernisme bersifat sementara, relasional, dan terbuka untuk revisi, namun tetap dihayati dengan kesungguhan” (Gibbons, 2015). Ini adalah sikap yang mengakui keterbatasan manusia, namun tidak menyerah pada nihilisme.
Dalam konteks sosial dan politik, metamodernisme menawarkan jalan tengah yang produktif. “Pendekatan metamodern memungkinkan keterlibatan emosional-spiritual dan intelektual secara bersamaan dalam menghadapi tantangan global” (Freinacht, 2017). Ia mengajak kita untuk membangun narasi bersama tanpa mengklaimnya sebagai kebenaran mutlak, untuk berkolaborasi tanpa kehilangan kesadaran kritis. Di era polarisasi, sikap ini menjadi jembatan yang langka.
Kesimpulannya, metamodernisme bukan sekadar tren intelektual, melainkan respons terhadap kelelahan budaya yang ditinggalkan oleh dua paradigma besar sebelumnya. “Metamodernisme adalah upaya untuk mengumpulkan, menyusun kembali dan memulihkan makna tanpa mengorbankan kesadaran kritis” (Dember, 2019). Ia mengajarkan bahwa kita bisa mencintai sambil sadar akan rapuhnya cinta itu, bisa percaya sambil tahu bahwa keyakinan kita mungkin keliru.
Dan di sinilah kita, di tepi gurun yang mulai menghijau. Metamodernisme bukan janji surga, tetapi undangan untuk berjalan bersama di jalan yang penuh paradoks ini. Ia mengajarkan bahwa makna tidak ditemukan di ujung perjalanan, melainkan di langkah-langkah yang kita ambil dengan hati terbuka dan pikiran waspada. Dalam osilasi antara harapan dan ironi, kita menemukan ruang untuk menjadi manusia seutuhnya.
Referensi:
• Dember, G. (2019). What Is Metamodernism? Metamoderna.
• Vermeulen, T., & van den Akker, R. (2010). Notes on Metamodernism. Journal of Aesthetics & Culture, 2(1), 1–14.
• Gibbons, A. (2015). Metamodernism, Narrative, and the Arts. Routledge.
• Freinacht, H. (2017). The Listening Society: A Metamodern Guide to Politics, Book One. Metamoderna.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header