Breaking News

ANTARA LEGASI DAN MONUMEN EGO


Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 26 September 2025.
Di panggung sandiwara dunia, ketika mulai menua manusia berlomba meninggalkan jejak, mengukir nama di prasasti waktu. Bagi yang selama hidup bermandikan kejayaan atau kekayaan, ada kecenderungan berharap ketika mati ingin tetap dikagumi dan dipuja. Mereka membangun istana-istana kemuliaan, mendirikan tugu-tugu kebaikan, mewariskan karya-karya yang dianggap abadi; bisa secara harfiah tugu, gapura, tempat ibadah, buku, memoar, otobiografi, atau bangunan/fasilitas apapun dengan namanya tertera atasnya. Namun, di balik setiap keping batu bata yang terpasang dan setiap kalimat yang tertulis, seringkali tersembunyi motif yang lebih kabur, sebuah garis tipis yang memisahkan luhurnya legasi dengan megah dan angkuhnya monumen ego. Niat berbuat baik dan mulia acapkali bercampur dengan dahaga untuk diakui dan dikenang sebagai sosok yang berjaya, perkasa nan mulia. Seperti sungai yang airnya kadang jernih dan kadang keruh, demikian pula motivasi di balik tindakan-tindakan yang kita wariskan.

Dorongan untuk meninggalkan legasi adalah bagian intrinsik dari sifat manusia, sebuah keinginan untuk melampaui batas kehidupan fana dan memberikan kontribusi yang bertahan lama. Menurut Erikson (1950) dalam teori perkembangan psikososialnya, tahap dewasa akhir ditandai dengan konflik antara integritas ego dan keputusasaan, di mana individu merenungkan warisan yang akan mereka tinggalkan. Namun, keinginan ini dapat terdistorsi oleh kebutuhan narsistik akan validasi dan kekaguman. "Kebutuhan narsistik untuk dikagumi dapat termanifestasi dalam upaya untuk menciptakan warisan abadi yang berfungsi sebagai monumen kebesaran diri," tulis Kernberg (1975) dalam karyanya tentang patologi narsistik.

Seringkali, sulit untuk membedakan antara tindakan altruistik yang tulus dengan tindakan yang didorong oleh keinginan untuk mendapatkan pujian dan pengakuan. Sebuah donasi besar untuk amal, pendirian sebuah yayasan atas nama diri sendiri, atau bahkan penulisan buku yang dianggap memberikan pencerahan, semuanya bisa memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada dampak positif yang nyata bagi orang lain. Di sisi lain, tersembunyi kerinduan untuk dielu-elukan sebagai pahlawan, orang hebat, atau orang bijak. "Motivasi dengan itikat mulia bisa bercampur dengan motif egosentris, di mana keinginan untuk membantu orang lain juga dipengaruhi oleh harapan untuk mendapatkan manfaat sosial atau psikologis," catat Batson dan Powell (2003) dalam penelitian tentang altruisme.

Paradoks ini semakin kompleks dalam era media sosial, di mana setiap tindakan dan pencapaian dapat dipamerkan dan diviralkan demi validasi eksternal. "Budaya digital memfasilitasi konstruksi dan proyeksi 'diri' yang ideal, di mana warisan yang dipresentasikan seringkali lebih merupakan representasi ego yang dipoles daripada refleksi otentik dari nilai dan perbuatan," ungkap Turkle (2011) dalam kajiannya tentang identitas di era digital. Monumen ego menjadi semakin mudah dibangun dan dipublikasikan, mengaburkan batas dengan legasi yang tulus.

Maka, penting bagi kita untuk melakukan introspeksi yang jujur terhadap motivasi di balik keinginan kita untuk meninggalkan jejak. Apakah kita membangun legasi karena dorongan kasih dan keinginan untuk berbuat baik, atau karena haus akan pengakuan dan pengaguman? Jawabannya mungkin tidak selalu hitam atau putih, tetapi terletak di area abu-abu di antara keduanya. Kesadaran akan kompleksitas ini adalah langkah pertama menuju tindakan yang lebih otentik dan legasi yang lebih bermakna.

Pada akhirnya, warisan sejati bukanlah tentang seberapa besar monumen yang kita bangun, atau seberapa sering nama kita disebut. Ia lebih tentang dampak riil yang kita berikan pada kehidupan orang lain, tentang benih kebaikan yang kita tanam dan terus bertumbuh. Mungkin, legasi yang paling abadi adalah jejak kebaikan yang tak terlihat, resonansi positif yang terus bergema jauh setelah nama kita terlupakan. Biarlah niat kita seperti air sungai yang mengalir jernih tanpa pamrih, memberi kehidupan, merawat pertumbuhan di sepanjang bantaran yang kita lalui, tanpa mengharapkan tepuk tangan dari tanaman dan pepohonan yang kita tumbuhkan. 

Referensi:
• Batson, C. D., & Powell, A. A. (2003). “Altruism and prosocial behavior.” In T. Millon & M. J. Lerner (Eds.), Comprehensive handbook of psychology, Vol. 5: Personality and social psychology (pp. 463–484). John Wiley & Sons.
• Erikson, E. H. (1950). Childhood and society. W. W. Norton & Company.
• Kernberg, O. F. (1975). Borderline conditions and pathological narcissism. Jason Aronson.
• Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.
_______________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari berbagai sumber. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM