Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma, Depok, 12 Agustus 2025
Modernisasi dan globalisasi telah membuat bangsa ini memiliki kecenderungan untuk mengadopsi pendekatan yang serba asing, yang menggerus kearifan lokal. Namun, laksana ukiran pada candi-candi kuno yang menyimpan kisah abadi, “Tri Hita Karana” adalah sebuah falsafah hidup kuno dari Bali yang menjadi “gerakan nyata keberlanjutan para leluhur Nusantara” yang masih terpelihara dengan baik penerapannya hingga kini. Frasa Sanskerta-Bali ini, yang berarti “tiga penyebab kebahagiaan” atau “tiga unsur kesejahteraan”, bukan sekadar kearifan lokal, melainkan sebuah “panduan holistik” yang telah membimbing masyarakat Bali selama berabad-abad dalam mencapai harmoni dengan alam dan sesama. Di tengah seruan global akan pembangunan berkelanjutan yang sering terasa asing dan baru, Tri Hita Karana adalah bukti otentik bahwa leluhur kita telah memiliki cetak biru keberlanjutan yang telah teruji zaman. Ini adalah drama abadi tentang pencarian keseimbangan di tengah laju peradaban dunia.
Tri Hita Karana berlandaskan pada tiga pilar utama yang saling terkait dan tidak terpisahkan, yakni “hubungan harmonis dengan Tuhan (Parhyangan)”, “hubungan harmonis antarmanusia (Pawongan)”, dan “hubungan harmonis dengan alam lingkungan (Palemahan)” (Picard, 1990; Lansing, 1991). Pilar Parhyangan menekankan pentingnya “spiritualitas dan keimanan” sebagai fondasi segala tindakan. Manusia dianggap sebagai bagian dari ciptaan Ilahi, sehingga “penghormatan terhadap Tuhan” tercermin dalam “penghormatan terhadap ciptaan-Nya”, termasuk alam. Ini membentuk “kesadaran transenden” bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah.
Pilar Pawongan menggarisbawahi “pentingnya keharmonisan sosial” dan “kerukunan antarmanusia”. Ini meliputi praktik “gotong royong”, “musyawarah mufakat”, dan “saling tolong-menolong” dalam komunitas (Geertz, 1980). Masyarakat yang rukun dan saling mendukung akan lebih mampu bekerja sama dalam menghadapi tantangan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya. Konsep ini menunjukkan bahwa “keberlanjutan ekologis tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan sosial”, karena konflik atau ketidakadilan dalam masyarakat dapat berdampak negatif pada lingkungan.
Terakhir, pilar Palemahan secara langsung berbicara tentang “hubungan harmonis dengan alam lingkungan” (Bandem & Mclain, 2012). Ini mencakup “pengelolaan lahan yang bijaksana”, “pelestarian sumber daya air”, dan “perlindungan keanekaragaman hayati”. Dalam praktiknya, hal ini terlihat pada sistem Subak yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia—sebuah “sistem irigasi tradisional” yang mengatur pembagian air secara adil dan berkelanjutan untuk sawah, sekaligus terintegrasi dengan pura dan ritual keagamaan (Lansing, 2007). Ini adalah contoh konkret bagaimana “prinsip keberlanjutan” diwujudkan dalam aktivitas sehari-hari melalui “pengetahuan lokal dan ritual”.
Tri Hita Karana, dengan ketiga pilarnya, adalah sebuah “gerakan nyata” karena ia tidak hanya menjadi filosofi, tetapi “mengakar kuat dalam praktik sehari-hari” masyarakat Bali. Setiap pembangunan, mulai dari rumah hingga pura, setiap upacara adat, hingga cara bertani, selalu mempertimbangkan ketiga aspek ini. Ini bukan sekadar kepatuhan pada aturan, melainkan “internalisasi nilai-nilai” yang membentuk perilaku kolektif. Keberhasilan sistem Subak dan terjaganya keindahan alam Bali, meskipun di tengah gempuran pariwisata, adalah “bukti nyata efektivitas” falsafah ini sebagai “panduan keberlanjutan yang hidup” (Reuter, 2002). Ia menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan dapat dicapai melalui “pendekatan berbasis komunitas” yang didukung oleh “kearifan spiritual dan budaya”.
Pada akhirnya, di tengah arus modernisasi, globalisasi, dan kecenderungan untuk mengadopsi pendekatan asing yang menggerus kearifan lokal, “Tri Hita Karana adalah suara leluhur Nusantara” yang senantiasa relevan. Ia adalah “cermin yang menuntun kita” untuk melihat bahwa “kebahagiaan sejati” hanya dapat dicapai melalui “keseimbangan yang holistik”—baik dengan Tuhan, sesama, maupun alam. Marilah kita, dengan “hati yang terbuka dan langkah yang pasti”, belajar dari warisan adiluhung ini. Sebab, hanya ketika kita mampu “menyatukan aspek spiritual, sosial, dan ekologis” dalam setiap tindakan, barulah kita benar-benar dapat “mewujudkan keberlanjutan” yang sejati, mewarisi bumi yang indah bagi anak cucu kita, dan “menari dalam harmoni abadi” dengan semesta.
________________________________________
Referensi:
• Bandem, I Made & Mclain, F. (2012). Kesenian, Agama, dan Pariwisata di Bali. Saritattwa.
• Geertz, C. (1980). Negara Teater: Raja dan Ritual di Bali abad kesembilan belas. Sinar Harapan.
• Lansing, J. S. (1991). Priests and Programmers: Technologies of Power in the Engineered Landscape of Bali. Princeton University Press.
• Lansing, J. S.1 (2007). The Goddess and the Doctor: A Spiritual Ecology of Health in Bali. In A. B. Lapian & I. N. Suryawan (Eds.), Adat dan Inovasi: Perspektif Antropologi untuk Pembangunan Bali. Yayasan Obor Indonesia.
• Picard, M. (1990). Cultural tourism in Bali: National integration or tourist integration? In P. Hitchcock, D. King, & M. P. P. Sin (Eds.), Tourism in South-East Asia (pp. 97-121). Routledge.
• Reuter, T. A. (2002). Custodians of the sacred mountains: Culture and economy in the central highlands of Bali. University of Hawaii Press.
________________________________________
“MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header