Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 9 Agustus 2025.
Di zaman ini, di sebuah negeri yang subur dan kaya dengan sumberdaya alam, ada sebuah paradoks yang menjahit kain kekuasaan dan moralitas dengan benang yang kumuh dan lusuh. Di mata para bandit yang bersinggasana di pilar-pilar eksekutif, legislatif, dan yudikatif, korupsi bukanlah sebuah dosa, melainkan sebuah bentuk kewirausahaan yang paling menuntut kelihaian. Etika adalah sebuah mitos, dan integritas hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur. Mereka tidak melihatnya sebagai kejahatan yang merampas hak rakyat, melainkan sebagai sebuah inovasi bisnis yang cerdik—sebuah permainan di mana yang paling rakus adalah pemenang, dan yang tidak korup adalah pemain yang tidak mengerti cara bermain. Dalam lakon ini, keberanian bukan lagi soal membela kebenaran, melainkan soal seberapa besar nyali untuk mengambil apa yang bukan haknya, seberapa piawai menyembunyikan jejak di balik labirin regulasi, dan seberapa mahir mencuci uang haram menjadi seperti terlegitimasi.
Fenomena ini berakar pada apa yang oleh para sosiolog disebut sebagai "korupsi sistemik yang telah melembaga" (Wibowo, 2023). Korupsi tidak lagi hanya tindakan individu yang menyimpang, melainkan telah menjadi sebuah sistem yang terstruktur, di mana norma-norma etis telah bergeser. Dalam lingkungan semacam ini, seorang pejabat yang jujur justru dianggap sebagai anomali, "sebuah roda gigi yang rusak dalam mesin yang berfungsi dengan baik" (Setiawan, 2024). Tekanan sosial dalam lingkaran kekuasaan mendorong mereka untuk mengikuti arus, karena orang yang tidak berpartisipasi dalam "wirausaha gelap" ini akan dianggap tidak kompeten atau tidak mampu berbisnis, tidak setia kawan, tidak pandai bergaul, dan pada akhirnya, akan tersingkir dari lingkaran kekuasaan.
Lebih jauh, praktik korupsi ini diperkuat oleh apa yang disebut sebagai hedonic adaptation. Sebuah studi dari Diener, Lucas, & Scollon (2006) mencatat bahwa "manusia memiliki kecenderungan untuk kembali ke tingkat kebahagiaan dasar meskipun mengalami perubahan hidup yang besar, baik positif maupun negatif." Dalam konteks ini, korupsi memberikan lonjakan kebahagiaan dan kepuasan instan, tetapi seiring waktu, para pelakunya beradaptasi. Mereka memerlukan dosis korupsi yang lebih besar dan lebih sering untuk mencapai tingkat kepuasan yang sama, seperti seorang pecandu yang terus-menerus meningkatkan dosisnya. Akibatnya, mereka terperangkap dalam "siklus tanpa akhir dari keserakahan yang tidak pernah terpuaskan" (Brickman & Campbell, 1971).
Pergeseran makna korupsi menjadi "kewirausahaan" juga menandai runtuhnya kepercayaan publik terhadap institusi negara. Ketika rakyat melihat para pemimpin mereka menjarah uang negara tanpa konsekuensi yang berarti, mereka kehilangan keyakinan pada sistem. Hal ini menciptakan masyarakat yang sinis, yang merasa bahwa jalur kesuksesan yang sah dan jujur tidak lagi efektif. “Kepercayaan yang terkikis adalah keruntuhan moral bagi sebuah bangsa, yang lebih berbahaya daripada krisis ekonomi sekalipun” (Pranata, 2025). Kerusakan ini bersifat fundamental, karena menghancurkan fondasi moral yang diperlukan untuk membangun peradaban yang berkeadilan. Rakyat pun semakin terbiasa, kian permisif terhadap praktik ini di semua lini dan level urusan kehidupan. Rakyat juga semakin tak berdaya, dan kehilangan gairah perlawanan. Bahkan para pemuka agama pun sangat jarang, untuk tidak mengatakan tidak pernah, mendakwahkan bahaya dan haramnya korupsi. Hampir tidak pernah terdengar dari mimbar-mimbar keagamaan manapun.
Sebagai konklusi, ketika korupsi dianggap sebagai sebuah bentuk kewirausahaan, kita menyaksikan sebuah ironi tragis di mana kekuasaan yang seharusnya melayani rakyat justru berbalik menjadi alat untuk menghisap rakyat dan memperkaya diri sendiri. Paradigma ini tidak hanya merusak ekonomi dan sistem hukum, tetapi juga merusak tatanan moral dan spiritual bangsa. Ini adalah sebuah bencana etis yang menyiratkan bahwa di dalam sanubari para pemegang kuasa, nilai-nilai luhur telah digantikan oleh hukum rimba yang paling primitif.
Mungkin, di antara puing-puing kepercayaan yang hancur, kita harus mencari sebuah harapan. Harapan itu bukan lagi terletak pada janji-janji para politisi, melainkan pada kebangkitan kesadaran kolektif. Bahwa kita, sebagai rakyat, harus menolak narasi bahwa korupsi adalah keniscayaan. Kita harus bersuara, bergerak, dan menuntut sebuah tatanan di mana integritas bukanlah sebuah kebodohan, melainkan sebuah kekuatan yang paling sejati. Karena pada akhirnya, cahaya yang paling terang tidak lahir dari gemerlap harta, melainkan dari keberanian untuk berdiri tegak di tengah kegelapan yang pekat.
Referensi:
• Brickman, P., & Campbell, D. T. (1971). Hedonic relativism and planning the good society. In M. H. Appley (Ed.), Adaptation Level Theory: A Symposium. Academic Press.
• Diener, E., Lucas, R. E., & Scollon, C. N. (2006). Beyond the hedonic treadmill: Revising the adaptation theory of well-being. American Psychologist.
• Pranata, D. (2025). Keruntuhan Kepercayaan Publik dan Dampaknya pada Demokrasi. Jurnal Kajian Sosial dan Politik.
• Setiawan, B. (2024). Korupsi Sistemik sebagai Fenomena Budaya Organisasi. Jurnal Integritas Publik.
• Wibowo, A. (2023). Sosiologi Korupsi: Korupsi Sistemik dan Korupsi Kultural. Jurnal Ilmu Pemerintahan.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header