Breaking News

MANUSIA, KATA-KATA, DAN LAUTAN KETIDAKPASTIAN


Oleh: Makin Perdana Kusuma - 5 Juli 2025.
Hidup adalah samudra luas yang sebagian besar membentang di luar kendali manusia. Gelombang ketidakpastian menerjang tanpa peringatan, badai kehidupan datang tanpa diundang, dan cakrawala seringkali diselimuti kabut permasalahan yang tak terpecahkan. Dalam lanskap eksistensial yang tak menentu ini, manusia bukanlah penguasa, melainkan pelaut yang rapuh, menggenggam harapan di tengah samudera kehidupan, gelombang ketidakpastian dan arus takdir. Maka, lahirlah kata-kata—sebagai pelampung makna, sebagai jangkar tautan batin. Kata-kata bijak, mutiara hikmah, dan ungkapan reflektif bukan sekadar hiasan bahasa belaka, melainkan cara manusia untuk menciptakan mekanisme bertahan dalam menghadapi dunia yang absurd, yang sebagian besar tidak sesuai dengan nalar dan harapan manusia. “Manusia menciptakan kata-kata hikmah atau makna untuk menjinakkan kekacauan,” tulis Frankl (2021), karena tanpa menciptakan hikmah atau makna, penderitaan menjadi tak tertanggungkan.

Dalam menghadapi peristiwa yang menyakitkan atau membingungkan, manusia cenderung mengganti atau menggeser sudut pandangnya. Ini bukan bentuk penyangkalan, melainkan strategi psikologis untuk mengelola realitas. “Reframing adalah kemampuan kognitif untuk melihat situasi dari perspektif baru yang lebih konstruktif,” jelas Goleman (2022). Dengan mengubah cara pandang, manusia tidak mengubah fakta, tetapi mengubah dampak emosional dari fakta tersebut. Inilah kekuatan narasi: ia tidak menghapus luka, tetapi memberi luka itu makna.

Kata-kata bijak yang lahir dari pengalaman pahit sering kali menjadi jembatan antara kekacauan eksternal dan ketenangan internal. Dalam psikologi eksistensial, hal ini dikenal sebagai “meaning-making”—proses di mana individu mengaitkan pengalaman hidup dengan nilai-nilai yang lebih besar (Park, 2023). “Manusia tidak hanya ingin hidup, tetapi ingin hidup yang bermakna,” tulis Yalom (2020). Maka, ketika seseorang berkata “semua ada hikmahnya,” itu bukan sekadar klise, melainkan ekspresi dari kebutuhan mendalam untuk menata batin di tengah dunia yang tak bisa ditata.

Dalam konteks ini, kata-kata bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat kontemplasi. Ia menjadi ruang di mana manusia berdialog dengan dirinya sendiri, menata ulang realitas, dan menemukan arah di tengah kabut. “Bahasa adalah rumah bagi eksistensi,” ujar Heidegger (dalam Safranski, 2019). Maka, setiap kata bijak yang diucapkan atau dituliskan adalah upaya manusia untuk membangun rumah di tengah badai, tempat ia bisa berlindung dari ketakberdayaan.

Kesimpulannya, manusia menciptakan kata-kata bijak bukan karena ia lemah, tetapi karena ia sadar bahwa dunia ini tidak selalu bisa dijinakkan dengan logika atau kekuatan. Kata-kata menjadi jembatan antara kenyataan yang tak bisa diubah dan batin yang ingin tetap utuh. Dalam kata-kata, manusia menemukan arah, meski jalannya masih gelap.

Dan pada akhirnya, hidup memang tak pernah sepenuhnya bisa dipahami. Tapi manusia, dengan segala keterbatasannya, terus berusaha menenun makna dari benang-benang kekacauan. Ia menulis, ia berbicara, ia merenung—bukan untuk menguasai dunia, tetapi untuk berdamai dengannya. Di tengah samudra yang tak bisa dikeringkan, manusia belajar berenang dengan kata-kata. Dan mungkin, itu sudah cukup.
  
Referensi:

• Frankl, V. E. (2021). Man’s Search for Meaning. Beacon Press.
• Goleman, D. (2022). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Bantam.
• Park, C. L. (2023). The Psychology of Meaning in Life. Annual Review of Psychology, 74(1), 1–25.
• Safranski, R. (2019). Martin Heidegger: Between Good and Evil. Harvard University Press.
• Yalom, I. D. (2020). Staring at the Sun: Overcoming the Terror of Death. Jossey-Bass.
  
_____________________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"  
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM