Breaking News

APA YANG SEBENARNYA DICARI OLEH MANUSIA DI BALIK ANGKA-ANGKA?

 
Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 14 Agustus 2025.
Di balik gemuruh mesin ekonomi dan gemeretak fluktuasi angka-angka statistik pertumbuhan, manusia berjalan dengan tuntutan tubuh yang lapar dan jiwa yang haus. Angka-angka GDP naik, revenue tumbuh, efisiensi tercapai, keuntungan bertambah—namun semua itu hanyalah kulit dari pencarian yang lebih dasar dan primordial: rasa kenyang, rasa nyaman, rasa puas. Seperti arus sungai yang tampak tenang di permukaan, namun di bawahnya mengalir deras hasrat yang tak pernah selesai. “Pertumbuhan ekonomi adalah proyeksi eksternal dari dorongan internal manusia untuk memenuhi kebutuhan biologis dan hasrat psikologisnya,” tulis Sen dalam Development as Freedom (1999). Maka, ekonomi bukan sekadar sistem, melainkan cermin dari pencarian rasa yang tak terdefinisikan oleh angka.

Ketika manusia mengejar pertumbuhan angka, yang sesungguhnya ia kejar adalah rasa yang bisa dia capai dengan menggunakan angka itu. Produk, keuntungan, maupun penghasilan, yang diwakili oleh angka, yang diproduksi oleh manusia dengan metode dan teknologi yang canggih, baik secara individual maupun kolektif, sebagian besar pada dasarnya hanya digunakan secara primordial untuk memenuhi dorongan hasrat untuk makan dan minum yang lebih enak dan banyak, tidur yang lebih nyaman dan lama, seks yang lebih nikmat dan variatif, hiburan yang lebih intens, kepuasan yang lebih sering, lebih besar, lebih banyak, lebih dalam, dan lebih lama. “Konsumsi adalah bentuk pemenuhan hasrat yang dikemas dalam sistem produksi dan distribusi,” ungkap Baudrillard dalam The Consumer Society (1998). Segala daya upaya manusia menguasai dan mengembangkan ilmu-pengetahuan untuk menciptakan dan terus-menerus memperbaiki teknologi dan metode hanyalah jembatan menuju pemuasan, bukan tujuan. Di dunia yang semakin canggih, manusia tetap kembali pada kebutuhan rasa yang paling sederhana: tubuh yang nyaman dan jiwa yang tenang. Rasa yang sama dengan yang didambakan oleh nenek moyangnya yang hidup ribuan, bahkan jutaan tahun lalu.

Namun, sebenarnya pencapaian rasa tidak selalu memerlukan proses yang canggih dan rumit. “Kebahagiaan tidak selalu berasal dari intensitas konsumsi, tetapi dari kesederhanaan pengalaman,” tulis Kahneman dalam Thinking, Fast and Slow (2011). Seorang petani yang makan nasi hangat dengan sambal di bawah pohon bisa merasakan kenikmatan yang sama, bahkan lebih, dibanding eksekutif yang makan di restoran bintang lima. Maka, teknologi bukanlah syarat mutlak untuk rasa; ia hanya salah satu cara. Di sinilah paradoks modernitas: semakin canggih alatnya, semakin jauh manusia dari rasa yang ia cari.

Sementara itu, pengejaran ekonomi untuk menghasilkan angka yang akan digunakan untuk memenuhi rasa, secara paradoksal sering kali justru membawa manusia pada kelelahan lahir dan batin. “Produktivitas yang berlebihan dapat menciptakan alienasi terhadap diri sendiri,” tulis Fromm dalam To Have or To Be? (1976). Ketika hidup menjadi serangkaian target dan pencapaian, rasa pun menjadi komoditas yang harus dibeli, bukan dialami. Manusia bekerja keras untuk membeli waktu istirahat di akhir pekan di luar kota, padahal istirahat bisa hadir dalam kesadaran yang sederhana. Di tengah kemajuan, manusia justru kehilangan akses langsung pada rasa yang ia idamkan. Di situ manusia mengalami kerugian dua kali; kelelahan di perjalanan dan kehilangan rasa yang menjadi tujuan.

Sesungguhnya, yang dicari manusia bukanlah angka, bukan alat, bukan metode, bukan teknologi. Ia mencari rasa yang membuatnya merasa hidup. “Tujuan akhir dari aktivitas manusia adalah rasa bahagia”, tulis Ryff dalam Journal of Personality and Social Psychology (1989), yang sebenarnya juga bisa dicapai dengan cara sederhana. Ketika rasa menjadi pusat, maka ilmu-pengetahuan, ekonomi, teknologi, dan sistem hanyalah pelayan dari pengalaman manusia. Kita perlu membalik paradigma: bukan rasa yang mengikuti angka, tapi angka yang mengikuti rasa.

Dan di sinilah kita berdiri, di persimpangan antara kemajuan peradaban dan kesadaran. Apakah kita akan terus membangun menara angka yang menjulang, atau mulai menggali sumur rasa yang dalam? Mungkin, pencarian sejati manusia bukanlah tentang mengumpulkan lebih banyak, tetapi tentang merasakan lebih dalam. 

Referensi:
• Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.
• Baudrillard, J. (1998). The Consumer Society: Myths and Structures. Sage Publications.
• Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. Farrar, Straus and Giroux.
• Fromm, E. (1976). To Have or To Be?. Harper & Row.
• Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Journal of Personality and Social Psychology, 57(6), 1069–1081.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM