Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 11 Agustus 2025
Laksana akar pohon beringin yang menancap kokoh dan menjulang tinggi, falsafah “Memayu Hayuning Bawono” adalah sebuah mutiara kearifan lokal Nusantara yang relevan secara universal. Kalimat adiluhung dari tradisi Jawa ini, yang secara harfiah berarti “memperindah keindahan dunia” atau “melestarikan keseimbangan alam semesta”, bukan sekadar pepatah, melainkan sebuah “panduan etis dan spiritual” yang mendalam. Di tengah krisis ekologi dan tantangan keberlanjutan global yang kian mendesak, seruan untuk menyelamatkan bumi sering kali terasa asing, yang pada praktinya banyak menggunakan pendekatan asing, jauh dari akar budaya kita sendiri. Namun, falsafah ini menawarkan “jembatan kearifan lokal” yang sudah berabad-abad menuntun hubungan harmonis antara manusia dan alam. Ini adalah “drama abadi” antara keserakahan manusia dan panggilan luhur untuk menjadi penjaga kehidupan.
Konsep “Memayu Hayuning Bawono” secara fundamental berpusat pada “harmoni” dan “keseimbangan” (Magnis-Suseno, 1996). Falsafah ini mengajarkan bahwa manusia adalah “bagian integral dari kosmos”, bukan entitas yang terpisah atau berkuasa atasnya. Setiap tindakan manusia memiliki “dampak timbal balik” terhadap alam semesta. Oleh karena itu, “memayu” (memelihara, memperindah) bukan hanya tugas fisik, melainkan juga “tugas spiritual dan moral” untuk memastikan bahwa “keindahan dan kesejahteraan alam semesta” (hayuning bawono) tetap terjaga. Ini selaras dengan konsep “ekologi dalam” (deep ecology) yang memandang semua bentuk kehidupan memiliki nilai intrinsik, terlepas dari kegunaannya bagi manusia (Naess, 1973). Falsafah ini menuntut “transformasi kesadaran” dari antroposentris menjadi ekosentris.
Lebih jauh, “Memayu Hayuning Bawono” juga mencakup dimensi “keberlanjutan antar-generasi” dan “tanggung jawab kolektif”. Falsafah ini menyiratkan bahwa setiap generasi memiliki “kewajiban untuk menjaga bumi” agar tetap layak huni bagi generasi mendatang. Ini bukan hanya tentang melestarikan sumber daya alam, tetapi juga “menjaga warisan budaya dan spiritual” yang mendukung hubungan harmonis tersebut (Wiryomartono, 2005). Dalam konteks modern, hal ini terhubung dengan prinsip “pembangunan berkelanjutan” yang didefinisikan sebagai pembangunan yang “memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang”1 untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (WCED, 1987). Falsafah Jawa ini, dengan nuansa kearifan lokalnya, memberikan “landasan etis yang kokoh” bagi praktik keberlanjutan.
Falsafah "Memayu Hayuning Bawono" bukan sekadar teori, melainkan terwujud dalam “berbagai aktivitas riil masyarakat Jawa”. Salah satu contoh paling jelas adalah “upacara adat yang menghormati alam” seperti Sedekah Bumi (Nyadran) atau Bersih Desa, di mana masyarakat bersyukur atas hasil panen dan membersihkan lingkungan sebagai bentuk terima kasih kepada bumi (Susanto, 2014). Tradisi Upacara Labuhan yang dilakukan oleh keraton di lokasi sakral seperti gunung atau laut juga menunjukkan “penghormatan terhadap dimensi spiritual alam” dan upaya menjaga keseimbangan kosmis. Selain itu, “sistem pertanian tradisional berkelanjutan” seperti terasering untuk mencegah erosi dan penggunaan pupuk alami, serta praktik gotong royong dalam menjaga kebersihan sungai atau menanam pohon, merefleksikan “tanggung jawab kolektif” masyarakat terhadap lingkungan. Bahkan, "ilmu titen"—pengetahuan yang didapat dari pengamatan mendalam terhadap pola alam—memandu mereka dalam bertani dan hidup selaras dengan irama semesta, menunjukkan “kearifan dalam berinteraksi” dengan lingkungan untuk keberlanjutan.
Implementasi “Memayu Hayuning Bawono” dalam konteks kontemporer memerlukan “pergeseran paradigma” yang signifikan. Ini berarti tidak hanya berfokus pada solusi teknologi atau kebijakan, melainkan juga pada “pembentukan karakter dan kesadaran” individu. Pendidikan, sejak usia dini, perlu “menanamkan rasa hormat terhadap alam” dan “tanggung jawab ekologis” sebagai bagian integral dari kurikulum (Tilaar, 2012). Selain itu, “praktik-praktik tradisional yang selaras dengan alam”, seperti sistem pertanian berkelanjutan, pengobatan herbal, atau pengelolaan hutan adat, perlu “dihidupkan kembali, didokumentasikan, dan diintegrasikan” dengan pendekatan modern melalui kolaborasi lintas sektor. Setiap individu, dari petani hingga pemimpin korporasi, didorong untuk “merefleksikan dampak tindakannya” terhadap “hayuning bawono” secara luas, menjadikan falsafah ini sebagai “kompas moral” dalam setiap keputusan.
“Memayu Hayuning Bawono” adalah “gaung kearifan nenek moyang” yang tak lekang oleh zaman. Ia adalah “cermin yang menuntun kita” untuk melihat bahwa keindahan sejati dunia terletak pada “keseimbangannya yang rapuh”, dan bahwa kita adalah “penjaga amanah” atas warisan ini. Marilah kita, dengan “hati yang terbuka dan tangan yang peduli”, merangkul falsafah ini sebagai “kompas utama” dalam setiap langkah. Sebab, hanya ketika kita “menari dalam harmoni” dengan alam semesta, “memperindah dan melestarikannya”, barulah kita benar-benar menemukan “arti sejati dari keberlanjutan” dan “keindahan kehidupan yang abadi”.
Referensi:
• Magnis-Suseno, F. (1996). Jawa: Filosofi, Tradisi, dan Adat Istiadat. Gramedia Pustaka Utama.
• Naess, A. (1973). The shallow and the deep, long-range ecology movement: A summary. Inquiry, 16(1-4), 95-100.
• Susanto, B. (2014). Mengenal Ritual dan Upacara Adat Jawa. Pustaka Baru Press.
• Tilaar, H. A. R. (2012). Kekuasaan dan Pendidikan: Studi Kasus Pendidikan Nasional. Rineka Cipta. (Contoh sitasi tambahan untuk pendidikan)
• World Commission on Environment and Development (WCED). (1987). Our common future. Oxford University Press.
• Wiryomartono, B. (2005). The architecture of traditional Lombok: A study of spatial organizations and community values. Gadjah Mada University Press.
________________________________________
“MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header