Breaking News

Cucu Sultan Aceh: Peringatan 665 Tahun Masuknya Islam di Tanah Papua Oleh Utusan Sultan Aceh Bertepatan 8 Agustus 1360 Masehi


Cucu Sultan Aceh Darussalam yang juga Pemimpin Darud Donya, Cut Putri, mengatakan bahwa Papua merupakan negeri yang secara geografis berjarak cukup jauh dari Aceh.

"Namun siapa sangka, ratusan tahun lalu para leluhur Aceh telah lebih dulu mengarungi luasnya lautan untuk menjalin persaudaraan dengan saudara kita di Papua", ungkap Cut Putri.

Para Sultan Aceh terkenal kerap mengirimkan para Ulama untuk berdakwah dan menyebarkan Islam secara damai ke nusantara dan seluruh kawasan Asia Tenggara, salah satunya ke kawasan terujung nusantara, yang karena jauhnya, dikenal dengan sebutan Negeri di Balik Bulan, yaitu Papua.

Cucu Sultan Aceh ini  menuturkan, bahwa Islam masuk ke Tanah Papua oleh ulama dari Kerajaan Samudra Pasai Aceh bernama Syekh Abdul Gaffar pada 24 Ramadhan 761 Hijriah, bertepatan 8 Agustus 1360 Masehi.

Syekh Abdul Gafar dari Aceh mendarat pertama kali di Pulau Was Papua, dan berlanjut ke Kampung Gar Distrik Furwagi, Fakfak Papua Barat pada 8 Agustus 1360 Masehi, bertepatan dengan 24 Ramadhan 761 Hijriyah. Dari sini, Islam mulai tersebar penuh damai ke seluruh Tanah Papua.

Cut Putri menerangkan bahwa dibanding kedatangan bangsa kolonial, agama Islam telah lebih awal tiba di Tanah Papua dibawa dari Tanah Rencong Aceh, yang didakwahkan langsung oleh ulama Aceh utusan Sultan Aceh

Dakwah Islam oleh Sultan Aceh di Papua kemudian disusul oleh kedatangan para mubaligh lainnya dari nusantara seperti dari Makassar, Maluku (Seram), dan Maluku Utara (Ternate, Tidore, Bacan) melalui jalur perdagangan, termasuk dari Arab dan Persia. Ajaran Islam kemudian otomatis terinternalisasi dalam sistem kerajaan (petuanan) di Papua sejak ratusan tahun
Fakta sejarah ini diungkap dalam seminar yang diselenggarakan di Fakfak Papua Barat pada awal tahun 2025, dalam rangka penentuan Titik Nol Masuknya Islam di Papua.

"Usaha penentuan ini telah diperjuangkan selama puluhan tahun. Resminya tahun 2005 diadakan seminar Majelis Muslim Papua di Asrama Haji di Jayapura yang dilanjutkan riset dan penelitian, kemudian diadakan seminar Sejarah Masuknya Islam bertepatan kegiatan MTQ II Papua Barat di Fakfak tahun 2008, dan terakhir seminar di Fakfak pada 11 Januari 2025, yang akhirnya resmi menetapkan fakta sejarah ini", terang Cut Putri yang turut hadir di Papua.

Fakfak kemudian ditetapkan sebagai  Titik Nol Masuknya Islam di Papua.

Cucu Sultan Aceh ini menuturkan bahwa di Fakfak ada kearifan lokal yang dikenal dengan istilah "Satu Tungku Tiga Batu". Keragaman agama dan budaya digambarkan sebagai sebuah tungku yang ditopang oleh tiga buah batu. 

Tungku merupakan simbol dari kehidupan, sedangkan tiga batu adalah simbol dari Anda, Saya dan Dia yang menghubungkan perbedaan baik agama, suku, dan status sosial dalam satu wadah persaudaraan. Batu juga melambangkan kekuatan atau penopang yang kuat.

Tiga batu juga menggambarkan tiga agama besar di Papua, yakni Katolik, Islam, dan Kristen. Maka ketiganya harus terus bersatu dan tidak boleh ada yang terpisah agar tungku yang ditopang di atasnya tidak jatuh dan tumpah.

"Artinya Keragaman agama dan budaya lah yang justru semakin menguatkan persaudaraan antar sesama", terang Cut Putri.

Di Papua juga terawat baik makam kuno ulama penyebar Islam asal Aceh, artefak masjid kuno yang dibangun oleh ulama Aceh masa lalu, Al Qur'an-Al Qur'an kuno, alat-alat ibadah kuno, dan artefak lainnya

Juga masih tersimpan apik Al Qur'an- Al Qur'an kuno Samudera Pasai peninggalan masa Kerajaan Aceh, yang merupakan salah satu Al Qur'an tertua Aceh yang masih terjaga dengan baik. 

"Sebagaimana halnya Aceh, Papua juga pernah beberapa kali dilanda tsunami purba. Kita bersyukur bahwa dalam keadaan alam tersebut, bukti-bukti sejarah masuknya Islam di Papua tetap terjaga lestari dan terlindungi", ujar Cucu Sultan Aceh yang juga Perekam Video Amatir Tsunami Aceh tahun 2004 yang terkenal ke seluruh dunia.

Pelestarian ini tak lepas juga dari peranan para Raja-Raja di Papua, yang  menjaga warisan Aceh dan bukti2 sejarah Islam secara turun temurun di tanah Papua. Para Raja-Raja inilah yang kemudian menjaga terlaksananya agama Islam di masyarakat Papua hingga kini.

Untuk itu Cucu Sultan Aceh Cut Putri sangat berterima kasih kepada para Raja dan keturunannya di Papua. 
"Untaian terima kasih dan penghormatan tertinggi kami kepada para Raja di Papua dan keturunannya yang mulia, yaitu di Fakfak : Kerajaan Fatagar, Kerajaan Atiati, Kerajaan Rumbati, Kerajaan Pattipi, Kerajaan Wituar, Kerjaaan Sekar, dan Kerajaan Arguni. Di Kaimana : Kerajaan Namatota dan Kerajaan Komisi. Juga Kerajaan Waigeo, Kerajaan Salawati, Kerajaan Misool, dan Kerajaan Batanta di Raja Ampat" hormat Cucu Sultan Aceh yang lahir di Raja Ampat Papua ini.

Cucu Sultan Aceh juga berterima kasih khusus kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) dan segenap tokoh Papua, yang mendukung penuh kegiatan penentuan Titik Nol Masuknya Islam di Papua.

"Aceh dan Papua juga mengalami pengalaman yang sama yaitu sama-sama mengalami situasi konflik bersenjata yang menguras darah dan air mata. Ini membuat kita menjadi saudara senasib sepenanggungan. Aceh selalu diterima oleh Papua, demikian juga sebaliknya", tutur Cucu Sultan Aceh kelahiran Papua yang tumbuh besar dalam suasana konflik Papua dan konflik Aceh ini.

"Semua fakta sejarah ini semakin menguatkan keterhubungan kita, betapa eratnya persatuan kita. Jarak Sabang sampai Merauke terasa dekat karena hangatnya persaudaraan yang telah terjalin bahkan sejak ratusan tahun lalu. Salam kami Aceh Darussalam untuk Rakyat dan Bangsa Papua. Aceh dan Papua, katong basodara (kita bersaudara)", tutup Cucu Sultan Aceh.

Narasumber : Tengku Ustad Mawardi Usman (Aceh)
Editor : Nofis Husin Allahdji (Bogor)
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM