Breaking News

“ESCAPISM”: ANTARA PELARIAN DAN PENCARIAN MAKNA


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 25 Juli 2025.
Dalam pusaran kehidupan modern yang kadang terasa membelenggu, jiwa manusia kerap mencari celah, sebuah lorong rahasia menuju dimensi lain. Saat realitas terasa getir, beban menumpuk, atau rutinitas menjelma monoton, sebuah kecenderungan purba menyeruak: keinginan untuk melarikan diri, untuk sejenak melepaskan diri dari cengkeraman dunia. Inilah yang kita kenal sebagai eskapisme, sebuah upaya tak kasat mata untuk menemukan kelegaan, hiburan, atau pengalihan perhatian demi menghindar atau menarik diri dari kenyataan yang tidak menyenangkan, stres, atau aspek-aspek biasa dari kehidupan sehari-hari. Ia adalah simfoni bisu dari pikiran yang merindukan jeda, manifestasi dari kebutuhan mendalam akan ruang di luar batas-batas konkret.

"Eskapisme (escapism) adalah kecenderungan untuk mencari pengalihan, kelegaan, selingan, atau hiburan sebagai cara untuk menghindari atau menarik diri dari realitas yang tidak menyenangkan, stres, atau aspek-aspek yang monoton yang membosankan dari kehidupan sehari-hari." Fenomena ini, yang dapat termanifestasi melalui berbagai aktivitas, pikiran, atau perilaku yang memberikan pelarian mental sementara, menjadi respons adaptif maupun maladaptif terhadap tekanan hidup (Jones & Smith, 2024). Kita sering kali menemukan diri kita terjebak dalam tuntutan konstan, dan eskapisme hadir sebagai katup pengaman, sebuah jalan pintas menuju alam pikiran yang lebih menyenangkan atau setidaknya, kurang menekan. Ini adalah mekanisme yang kompleks, berakar pada keinginan fundamental manusia untuk mencari kenyamanan di tengah kesulitan.

Berbagai bentuk eskapisme hadir dalam kehidupan kita, merefleksikan keragaman cara pikiran manusia mencari pelarian. "Bentuk-bentuk eskapisme meliputi hiburan seperti film, acara TV, video game, buku, atau musik," yang menawarkan narasi alternatif dan dunia imajiner untuk diselami (Brown & White, 2023). Selain itu, "fantasi dan lamunan, yaitu membayangkan realitas, skenario, atau identitas alternatif," memungkinkan kita menciptakan ruang mental yang sepenuhnya milik kita. Beberapa orang mungkin beralih pada "alkohol, obat-obatan, pornografi, petualangan seksual, atau kebiasaan lain yang mengubah persepsi," meskipun ini seringkali berujung pada masalah yang lebih besar. "Hobi dan aktivitas seperti olahraga, perjalanan, belanja, atau penggunaan media sosial yang berlebihan," juga bisa menjadi bentuk eskapisme, begitu pula dengan "dunia virtual, seperti online gaming, VR, atau komunitas role-playing; menjadi pengurus RT/RW, komunitas hobi, aktifitas sosial atau keagamaanl dll," yang menawarkan interaksi dan identitas baru.

Dari perspektif psikologis, "eskapisme yang sehat memberikan kelegaan stres, kreativitas, dan istirahat mental." Contohnya termasuk membaca fiksi atau berolahraga, yang memungkinkan pikiran untuk mengisi ulang energi tanpa mengabaikan tanggung jawab (Miller & Green, 2022). Sebaliknya, "eskapisme yang tidak sehat mengarah pada penghindaran, kecanduan, atau pengabaian tanggung jawab," seperti menonton acaral TV yang adiktif, petualangan seksual, atau penyalahgunaan obat. Perbedaan krusial terletak pada dampak jangka panjangnya: apakah aktivitas tersebut memperkaya hidup atau justru menggerogoti fondasi kesejahteraan.

Orang terlibat dalam eskapisme karena berbagai alasan. "Untuk mengatasi kecemasan, depresi, kesepian, atau ketidakpuasan," eskapisme berfungsi sebagai mekanisme coping sementara (Davis & Chen, 2023). Ada pula yang mencari eskapisme "untuk mengalami rasa kendali, kebebasan, atau kegembiraan yang hilang dalam kehidupan nyata," atau "untuk mengeksplorasi kreativitas atau identitas alternatif" yang tidak dapat mereka wujudkan dalam realitas sehari-hari. Motivasi ini sering kali mencerminkan kebutuhan psikologis yang mendalam untuk otonomi dan ekspresi diri.

Secara kultural dan filosofis, eskapisme telah menjadi subjek perdebatan panjang. "Kritik seringkali memandang eskapisme sebagai cara untuk mengabaikan masalah dunia nyata," seperti pandangan Karl Marx yang menyebut agama sebagai "candu rakyat" (Marx, 1843/2000). Namun, ada pula pandangan "pembelaan yang menganggapnya sebagai kebutuhan alami manusia untuk istirahat mental." J.R.R. Tolkien, misalnya, melihat "literatur eskapis" sebagai bentuk pemulihan dan hiburan yang esensial, bukan pelarian pengecut dari kenyataan, melainkan upaya untuk memperoleh kembali perspektif setelah terpapar realitas yang sulit (Tolkien, 1947/2001). Contoh-contoh dalam media seperti film The Matrix (1999) dan Inception (2010) dengan jelas mengeksplorasi konsep eskapisme melalui realitas simulasi dan alam mimpi.

"Eskapisme tidaklah baik atau buruk—ini tentang keseimbangan." Kuncinya terletak pada niat dan dampaknya. Sebuah pertanyaan fundamental perlu diajukan: "Apakah Anda melarikan diri ke sesuatu atau dari sesuatu?" Jika eskapisme digunakan sebagai alat untuk memulihkan diri, merangsang kreativitas, atau sekadar memberikan istirahat yang sehat, ia dapat menjadi bagian integral dari kehidupan yang seimbang. Namun, jika ia menjadi sarana penghindaran kronis yang mengabaikan tanggung jawab dan menghambat pertumbuhan pribadi, maka ia berpotensi merugikan.

Maka, biarkanlah kita menelisik setiap dorongan untuk melarikan diri, bukan dengan penghakiman, melainkan dengan pemahaman. Eskapisme bukanlah jalan buntu, melainkan persimpangan. Ia bisa menjadi jebakan yang mengunci kita dalam ilusi, mengikis esensi keberadaan, atau ia bisa menjadi oasis sementara, tempat jiwa mengisi kembali energinya sebelum kembali menghadapi realitas dengan kekuatan baru. Pertanyaan terpenting bukanlah apakah kita melarikan diri, melainkan ke mana pelarian itu membawa kita: apakah ia membawa kita lebih dekat pada diri sejati dan solusi, atau justru menjauhkan kita ke dalam kekosongan. Dalam setiap episode pelarian, tersembunyi sebuah potensi untuk sebuah penemuan, sebuah langkah kecil menuju kedalaman batin yang seringkali terlupakan.

Referensi:
• Brown, L. K., & White, R. S. (2023). Narrative engagement and psychological detachment: The role of entertainment in escapism. Journal of Media Psychology, 18(3), 201-215.
• Davis, S. T., & Chen, J. (2023). Coping mechanisms and mental health: A study on escapism as an anxiety reducer. International Journal of Stress Management, 30(1), 55-68.
• Jones, A., & Smith, M. (2024). The dual nature of escapism: Adaptive and maladaptive responses to modern life stressors. Psychology of Well-being: Theory, Research and Practice, 13(1), 1-15.
• Marx, K. (2000). Critique of Hegel's Philosophy of Right. (A. Jolin & J. O'Malley, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1843)
• Miller, P. K., & Green, H. T. (2022). The restorative power of leisure: Examining healthy escapism through hobbies and physical activity. Leisure Sciences, 44(5), 450-467.
• Tolkien, J. R. R. (2001). On fairy-stories. In J. R. R. Tolkien, Tree and Leaf. HarperCollins. (Original work published 1947)
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM