Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 13 Juli 2025.
Di setiap sudut bumi, di balik dinding istana yang megah atau di bawah atap gubuk yang sederhana, tersembunyi sebuah kebenaran universal yang seringkali luput dari pandangan mata: bahwa di kedalaman sanubari, setiap jiwa merasakan melodi kehidupan yang sama.
Kita sering terpaku terpukau pada perbedaan harta dan status, pada gemerlap kemewahan atau kerasnya perjuangan, seolah itu adalah jurang pemisah yang tak terlampaui. Namun, di balik topeng-topeng sosial dan label-label ekonomi, denyut "rasa hidup" berdetak dalam irama yang seragam. Setiap orang, tanpa terkecuali, adalah penari dalam balet kosmik kesedihan dan kebahagiaan, kesulitan dan kemudahan, yang silih berganti.
Ini adalah paradoks agung yang mengingatkan kita bahwa di hadapan eksistensi, kita semua adalah sama, terikat dalam takdir yang fana. Sebab kehidupan memiliki topografi; lembah, ngarai, sungai, bukit, gunung, tebing dan jurang. Memiliki musim dan cuaca; angin sepoi, kekeringan, hujan, topan dan badai
Penelitian lintas budaya secara konsisten menunjukkan bahwa emosi dasar seperti kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, dan ketakutan dialami secara universal oleh manusia, terlepas dari latar belakang sosial-ekonomi mereka, meskipun ekspresi dan pemicunya bisa bervariasi (Ekman & Friesen, 1971; Russell, 1994). Ini menegaskan bahwa "rasa hidup" yang mendalam—pengalaman subjektif tentang suka dan duka, harapan dan kekecewaan—adalah bagian intrinsik dari kondisi manusia. Seorang raja yang kehilangan takhta merasakan duka yang sama dengan seorang petani yang kehilangan panen; seorang anak di keluarga kaya merasakan kegembiraan yang sama saat mendapat hadiah mobil mainan elektronik ber-remote-control, seperti anak di keluarga miskin yang mendapat mobil mainan dari kayu yang sederhana.
Meskipun kekayaan dapat meningkatkan kepuasan hidup pada tingkat dasar, studi tentang kesejahteraan subjektif menemukan bahwa setelah ambang batas tertentu, peningkatan kekayaan tidak secara signifikan berkorelasi dengan peningkatan kebahagiaan jangka panjang, karena individu beradaptasi dengan kondisi baru dan tetap rentan terhadap tantangan eksistensial (Diener & Biswas-Diener, 2002; Kahneman & Deaton, 2010). Ini menunjukkan bahwa di strata sosial-ekonomi manapun, setiap orang memiliki "rasa hidup" yang sama.
Orang-orang terkaya pun menghadapi penyakit, kehilangan orang terkasih, konflik keluarga, atau krisis eksistensial yang tidak dapat dibeli atau dihindari dengan uang. Sebaliknya, meskipun orang-orang yang hidup dalam keterbatasan ekonomi masih dapat menemukan kebahagiaan dalam cinta, komunitas, pencapaian kecil, atau momen-momen sederhana, namun pada saat yang sama mereka bisa juga menghadapi penyakit, kehilangan orang terkasih, konflik keluarga.
Prinsip impermanensi, yang merupakan inti dari banyak filosofi timur, menyatakan bahwa segala sesuatu dalam keberadaan adalah sementara dan terus berubah, termasuk keadaan emosional dan kondisi hidup, sehingga tidak ada pengalaman, baik positif maupun negatif, yang bersifat abadi (Dalai Lama XIV, 1999; Kabat-Zinn, 1990). Tidak ada kesedihan dan kesulitan yang abadi, tidak ada kebahagiaan dan kemudahan yang abadi. Roda kehidupan terus berputar; setelah badai pasti ada pelangi, dan setelah musim kemarau akan datang hujan. Kesulitan adalah ujian yang membentuk karakter, dan kebahagiaan adalah anugerah yang mengajarkan rasa syukur.
Di strata sosial-ekonomi manapun, setiap orang memiliki "rasa hidup" yang sama. Setiap orang mengalami kesedihan dan kebahagiaan, kesulitan dan kemudahan yang silih berganti. Tidak ada kesedihan dan kesulitan yang abadi, tidak ada pula kebahagiaan dan kemudahan yang abadi. Pemahaman ini mendorong empati dan kerendahan hati, mengingatkan kita bahwa di balik perbedaan lahiriah, kita semua adalah bagian dari simfoni eksistensi yang sama. Maka, di tengah hiruk-pikuk dunia yang seringkali memecah belah kita berdasarkan status dan harta, terbentanglah sebuah kebenaran yang membebaskan: bahwa di kedalaman jiwa, kita semua adalah sama, merasakan pasang surut kehidupan dalam irama yang universal.
Kebahagiaan dan penderitaan bukanlah hak istimewa atau kutukan bagi strata tertentu saja, melainkan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan semua manusia. Sebuah tarian abadi yang mengajarkan kita bahwa strata hanyalah kulit luar pembungkus belaka. Di dalam, rasa yang ada tidak berbeda. Dan perburuan akan strata hanyalah berlari di atas treadmill belaka, tidak membawa kemana-mana, tidak merubah alur dan aliran rasa.
Referensi:
• Dalai Lama XIV. (1999). Ethics for the New Millennium. Riverhead Books.
• Diener, E., & Biswas-Diener, R. (2002). Will money make you happy? A review of the research on income and subjective well-being. Social Indicators Research, 57(2), 119–169.
• Ekman, P., & Friesen, W. V. (1971). Constants across cultures in the face and emotion. Journal of Personality and Social Psychology, 17(2), 124–129.
• Kabat-Zinn, J. (1990). Full Catastrophe Living: Using the Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness. Delta.
• Kahneman, D., & Deaton, A. (2010). High income improves evaluation of life but not emotional well-being. Proceedings of the National Academy of Sciences, 107(38), 16489–16493.
• Russell, J. A. (1994). Is there universal recognition of emotion from facial expressions? A review of the cross-cultural studies. Psychological Bulletin, 115(1), 102–141.
________________________________________
”MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header