Breaking News

BELAJAR BERLARI DARI TIONGKOK


Oleh: Makin Perdana Kusuma, Depok, 15 Juni 2025
Transformasi Tiongkok sejak akhir 1970-an mencerminkan keberhasilan strategi pembangunan terarah yang menggabungkan keterbukaan ekonomi dan kontrol politik. Sejak kebijakan "reformasi dan keterbukaan" diperkenalkan oleh Deng Xiaoping pada 1978, Tiongkok mulai melakukan "liberalisasi ekonomi bertahap" tanpa melepas dominasi negara atas sektor strategis (Naughton, 2018). Strategi ini memungkinkan negara menciptakan mekanisme pasar sambil tetap menjaga stabilitas politik melalui kepemimpinan tunggal Partai Komunis Tiongkok.

Dalam bidang ekonomi, pertumbuhan Tiongkok sangat dipengaruhi oleh pembentukan Zona Ekonomi Khusus seperti Shenzhen yang menjadi pusat "eksperimen kapitalisme dengan karakteristik sosialis" (Wei, 2020). Melalui kebijakan ini, Tiongkok berhasil menarik investasi asing langsung, mengadopsi teknologi global, dan membangun kapasitas industri domestik. Peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) yang stabil selama beberapa dekade menjadi bukti dari keberhasilan pendekatan "pragmatisme ekonomi berbasis negara".

Transformasi teknologi juga menjadi pilar penting kebangkitan Tiongkok. Pemerintah meluncurkan program Made in China 2025 sebagai bentuk komitmen terhadap "kemandirian teknologi strategis" (Kennedy, 2015). Dalam kerangka ini, negara menginvestasikan lebih dari 2,5% PDB untuk riset dan pengembangan (R&D), yang diarahkan pada sektor-sektor unggulan seperti kecerdasan buatan, semikonduktor, dan energi hijau (OECD, 2022). Inisiatif ini telah mempercepat munculnya raksasa teknologi seperti Huawei dan Alibaba yang menjadi simbol "kekuatan inovasi nasional".

Di bidang militer, Tiongkok menjalankan modernisasi besar-besaran untuk menciptakan "kekuatan militer canggih yang mampu bersaing secara global" (Kania & Costello, 2018). Langkah ini mencakup digitalisasi kekuatan bersenjata, pengembangan rudal hipersonik, serta peningkatan kemampuan siber dan antariksa. Visi ini mencerminkan keinginan Tiongkok untuk memainkan peran lebih besar dalam keamanan global dan melindungi kepentingannya di kawasan Asia-Pasifik (Erickson & Liff, 2019).

Dari segi budaya dan ideologi, negara menerapkan "nasionalisme budaya yang dikontrol negara" sebagai alat legitimasi kekuasaan dan soft power luar negeri (Brady, 2019). Melalui penyebaran narasi kebangkitan peradaban Timur dan program seperti Confucius Institute, Tiongkok berupaya menantang hegemoni nilai-nilai Barat dan memperkuat pengaruh globalnya (d’Hooghe, 2015). Strategi ini mencerminkan bentuk diplomasi budaya yang terkoordinasi secara sistematis.

Selain aspek ekonomi, teknologi, militer, dan budaya, keberhasilan transformasi Tiongkok juga ditopang oleh upaya intensif dalam "pemberantasan korupsi sistemik" dan penguatan tata kelola pemerintahan. Sejak Xi Jinping memimpin, kampanye antikorupsi yang dikenal luas sebagai Tigers and Flies Campaign telah menangani lebih dari satu juta kasus korupsi, termasuk pejabat tinggi partai (Li, 2016). Langkah ini tidak hanya meningkatkan "disiplin internal partai", tetapi juga memperkuat legitimasi negara di mata publik sebagai penguasa yang bersih dan tegas (Manion, 2016). Di sisi lain, penguatan "tata kelola birokrasi berbasis efisiensi dan loyalitas ideologis" menjadi sarana untuk mengefektifkan kebijakan pembangunan nasional tanpa hambatan administratif yang berlebihan (Fukuyama, 2018). Dengan menempatkan pemberantasan korupsi sebagai bagian dari reformasi institusional, Tiongkok menunjukkan bahwa stabilitas politik dan pembangunan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari "pengendalian internal atas kekuasaan".

Kesuksesan transformasi ini secara fundamental juga sangat bergantung pada struktur politik Tiongkok yang disebut sebagai "otoritarianisme adaptif", yaitu kemampuan sistem otoriter untuk berinovasi dan beradaptasi secara institusional (Pei, 2016). Tanpa melalui siklus politik demokratis yang labil /sering berubah, seperti yang terjadi pada banyak negara-negara lain,  Tiongkok dapat menjalankan visi jangka panjangnya dengan konsistensi, efisiensi dan kecepatan tinggi.

Daftar Pustaka (Format APA):
• Brady, A.-M. (2019). Marketing dictatorship: Propaganda and thought work in contemporary China. Rowman & Littlefield.
• d’Hooghe, I. (2015). China’s public diplomacy. Brill.
• Erickson, A. S., & Liff, A. P. (2019). The future of PLA power projection. The China Quarterly, 246, 398–422.
• Fukuyama, F. (2018). State building: Governance and world order in the 21st century. Cornell University Press.
• Kania, E. B., & Costello, J. (2018). China's Strategic Support Force: A Force for a New Era. CNA.
• Kennedy, S. (2015). Made in China 2025. Center for Strategic and International Studies (CSIS).
• Li, L. (2016). The politics of anticorruption in China: Paradigms and concepts. Journal of Chinese Political Science, 21(4), 373–386.
• Manion, M. (2016). Information for autocrats: Representation in Chinese local congresses. Cambridge University Press.
• Naughton, B. (2018). The Chinese economy: Adaptation and growth. MIT Press.
• OECD. (2022). Main Science and Technology Indicators.
• Pei, M. (2016). China's crony capitalism: The dynamics of regime decay. Harvard University Press.
• Wei, S.-J. (2020). China's economic transformation: Lessons, impact, and the path forward. World Scientific.

________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM