Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 7 Juli 2025.
Di setiap sudut bumi, di setiap helaan napas peradaban, manusia tak henti-hentinya berbisik, berseru, atau merenung tentang Yang Maha Agung. Kita ciptakan nama-nama—Allah, Yahweh, Brahman, Hyang Widhi, Gusti, Tao—dan kita ukir sifat-sifat—Maha Pengasih, Maha Adil, Maha Kuasa—dalam upaya merangkul entitas yang tak terbatas. Namun, di balik setiap nama yang terucap, setiap gambaran yang terlukis, dan setiap sifat yang tersemat, tersembunyi sebuah kebenaran yang menggetarkan: bahwa Tuhan bukanlah nama, dan nama bukanlah Tuhan. Apapun yang diciptakan oleh akal dan bahasa manusia, seberapa agung pun itu, hanyalah sekilas titik samar dari Realitas yang tak terhingga. Ini adalah paradoks agung antara hasrat manusia untuk memahami-Nya dan ketidakmampuan bahasa untuk menggapai keseluruhan keberadaan Ilahi, sebuah tarian abadi antara yang terbatas dan yang tak terbatas.
Hakikat bahasa manusia, dengan segala kekayaan dan keterbatasannya, adalah untuk mengklasifikasikan dan membatasi. Setiap kata adalah sebuah label, sebuah bingkai yang mencoba menangkap esensi. "Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku," demikian pernyataan terkenal Ludwig Wittgenstein (1921), yang menyiratkan bahwa pemahaman kita terikat pada kerangka linguistik yang kita gunakan. Oleh karena itu, setiap nama yang diberikan kepada Tuhan, meskipun merupakan upaya tulus untuk menunjuk kepada Yang Ilahi, pada dasarnya adalah konstruksi manusiawi, sebuah penanda yang tidak pernah bisa menangkap totalitas dari apa yang ditunjuknya. Nama "Tuhan" itu sendiri adalah sebuah konsep, sebuah alat komunikasi, bukan Realitas Absolut itu sendiri.
Lebih jauh lagi, gambaran sifat dan bahkan upaya untuk memahami "dzat" Tuhan juga terperangkap dalam keterbatasan kognisi manusia. Ketika kita menyebut Tuhan Maha Pengasih, Maha kaya, atau Maha Adil, kita memproyeksikan atribut yang dapat kita pahami dari pengalaman manusiawi kita. "Teologi apofatis, atau teologi negatif, berpendapat bahwa kita hanya bisa berbicara tentang Tuhan dengan mengatakan apa yang bukan Dia, karena setiap atribut positif akan membatasi dan mereduksi keilahian-Nya yang tak terbatas," demikian pandangan yang dianut oleh pemikir seperti Pseudo-Dionysius the Areopagite (abad ke-5 M) dan Maimonides (abad ke-12 M). Setiap konsep yang kita bentuk tentang Tuhan, seberapa pun luhurnya, adalah cerminan dari kapasitas pemahaman kita yang terbatas, bukan representasi lengkap dari keberadaan Tuhan yang transenden dan imanen secara bersamaan.
Pemahaman ini juga menjadi jembatan bagi keragaman spiritual di dunia. Berbagai agama, dengan tradisi dan bahasa yang berbeda, telah menciptakan nama-nama dan gambaran yang berbeda untuk Yang Ilahi. "Filsafat perenial menunjukkan bahwa di balik keragaman ekspresi religius, terdapat satu Realitas transenden yang menjadi tujuan akhir dari semua jalur spiritual yang otentik," demikian argumen Aldous Huxley (1945) dalam karyanya yang monumental. Nama-nama seperti Allah, Yahweh, Brahman, Hyang Widhi, Gusti, atau Tao, serta berbagai sifat yang dilekatkan pada-Nya, adalah upaya budaya dan historis yang berbeda untuk mendekati dan mengartikulasikan pengalaman tentang Yang Tak Terucapkan. Perbedaan-perbedaan ini, pada tingkat yang paling dalam, adalah variasi dalam metode dan bahasa, bukan perbedaan dalam Realitas Ilahi itu sendiri.
Tuhan, dalam esensi-Nya yang tak terbatas, melampaui segala nama, sifat, dan gambaran yang dapat diciptakan oleh akal dan bahasa manusia. Nama-nama dan atribut yang kita gunakan adalah alat bantu kognitif dan spiritual untuk mendekati dan memahami Yang Ilahi, namun tidak pernah dapat menggambarkan keseluruhan keberadaan-Nya. Pengakuan atas keterbatasan ini mendorong kerendahan hati intelektual dan membuka pintu bagi pemahaman yang lebih inklusif terhadap keragaman ekspresi spiritual.
Berbuka pikiran dan hati akan misteri yang Tak Terlukiskan, di mana kata-kata dan konsep-konsep kita menjadi bisu, akan dapat mengarah kepada sebuah rasa kebebasan yang mendalam, meluas tak terbatas, teduh, dan hidup. Kebebasan dari dogma yang mengikat, dari perdebatan tentang nama yang "paling benar," dan dari ilusi bahwa kita dapat mengurung Yang Tak Terbatas dalam definisi yang terbatas. Insight terbesarnya adalah bahwa pencarian Tuhan bukanlah tentang menemukan nama yang tepat atau gambaran yang sempurna, melainkan tentang membuka diri pada pengalaman langsung tentang Realitas yang melampaui semua itu. Ini adalah undangan untuk merangkul keheningan batin, untuk merasakan kehadiran Ilahi di luar kerangka bahasa, dan untuk menyadari bahwa di setiap hembusan napas, di setiap partikel alam semesta, ada bisikan dari Yang Tak Bernama, menunggu untuk dirasakan, bukan didefinisikan.
Daftar Pustaka:
Armstrong, Karen. Fields of Blood: Religion and the History of Violence. New York: Knopf, 2014.
Huxley, Aldous. The Perennial Philosophy. New York: Harper & Brothers, 1945.
Smith, Huston. The World's Religions. San Francisco: HarperSanFrancisco, 1991.
Wittgenstein, Ludwig. Tractatus Logico-Philosophicus. London: Kegan Paul, Trench, Trubner & Co., 1921.
________________________________________
”MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header