Breaking News

REKONTEKSTUALISASI KITAB SUCI


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 11 Juli 2025.
Di zaman purba, ketika langit terasa dekat dan bumi adalah hamparan misteri yang belum terjamah, turunlah bisikan-bisikan Ilahi kepada orang-orang tertentu, yang kemudian dirangkai dalam kata-kata yang dibukukan dan dibakukan untuk menjadi cahaya pemandu bagi umat manusia. 
Kitab-kitab suci itu adalah peta bagi jiwa yang tersesat, hukum bagi masyarakat yang baru merangkak, dan hikmah bagi peradaban yang masih belia. Namun, roda zaman tak pernah berhenti berputar; peradaban telah melesat jauh, melampaui batas-batas imajinasi nenek moyang kita. Dari gurun pasir yang sunyi hingga kota-kota baja yang menjulang, dari pesan yang disampaikan melalui perumpamaan sederhana hingga kompleksitas sains kuantum, jurang antara masa lalu dan kini membentang luas. Di sinilah pertanyaan fundamental muncul: bagaimana kebijaksanaan yang abadi ini dapat berbicara kepada hati dan akal budi manusia modern? Sebuah panggilan untuk rekontekstualisasi, sebuah upaya untuk menemukan kembali esensi kebenaran di balik selubung zaman.

Kitab-kitab suci, meskipun diyakini berasal dari sumber Ilahi, disampaikan kepada manusia dalam konteks historis, budaya, dan linguistik tertentu. "Setiap teks suci, pada dasarnya, adalah sebuah komunikasi yang dibingkai oleh pemahaman dan pengalaman audiens aslinya, menggunakan bahasa dan metafora yang relevan dengan zaman mereka," (Armstrong, 2009). Misalnya, hukum-hukum sosial atau narasi kosmogoni dalam kitab suci seringkali mencerminkan struktur masyarakat, pengetahuan ilmiah, dan pandangan dunia yang berlaku pada saat itu. Interpretasi awal teks-teks ini secara inheren terikat pada konteks tersebut, membentuk pemahaman yang dominan selama berabad-abad.

Namun, peradaban manusia telah mengalami lompatan kuantum yang dramatis. Penemuan ilmiah telah mengubah pemahaman kita tentang alam semesta, teknologi telah merevolusi cara kita hidup dan berinteraksi, dan nilai-nilai kemanusiaan telah berkembang, terutama dalam hal hak asasi manusia, kesetaraan, dan keadilan sosial. "Konflik seringkali muncul ketika interpretasi literal dari teks-teks kuno diterapkan secara kaku pada realitas modern yang jauh lebih kompleks, mengabaikan perubahan konteks sosial, etika, dan ilmiah," (Karen, 2014). Hal ini dapat menciptakan ketegangan antara ajaran agama dan tuntutan moral kontemporer, bahkan memicu perpecahan dan intoleransi.

Oleh karena itu, rekontekstualisasi menjadi sebuah keniscayaan, bukan untuk mengubah kebenaran fundamental kitab suci, melainkan untuk memperbaharui relevansinya. "Rekontekstualisasi melibatkan upaya hermeneutika yang cermat untuk membedakan antara pesan universal dan abadi dari teks suci dengan ekspresi budaya dan historisnya yang spesifik, sehingga memungkinkan pesan tersebut berbicara kepada tantangan dan kebutuhan zaman sekarang," (Ricoeur, 1976). Ini adalah proses yang menuntut kebijaksanaan, kepekaan terhadap konteks, dan keberanian untuk menafsirkan kembali tanpa mengorbankan esensi. Tujuannya adalah untuk menemukan kembali semangat di balik huruf, prinsip di balik praktik, dan hikmah yang melampaui batas waktu.

Manfaat dari rekontekstualisasi sangatlah besar. Ia memungkinkan agama untuk tetap menjadi kekuatan yang relevan dan transformatif dalam masyarakat modern, mampu menjawab dilema etika baru seperti bioetika, kecerdasan buatan, atau krisis lingkungan (Peters, 2018). Ia juga mendorong inklusivitas dan dialog antaragama, karena pemahaman yang lebih mendalam akan esensi universal dapat melampaui perbedaan-perbedaan superfisial. Dengan demikian, agama dapat menjadi sumber solusi, bukan konflik, dalam menghadapi tantangan global yang kompleks.

Tingkat peradaban yang berbeda jauh antara masa turunnya kitab-kitab suci dan masa kini menjadikan rekontekstualisasi sebagai kebutuhan mendesak. Proses ini esensial untuk membedakan pesan abadi dari konteks historisnya, memungkinkan kitab suci untuk tetap relevan, adaptif, dan menjadi panduan moral yang konstruktif bagi masyarakat modern yang kompleks dan terus berkembang.

Maka, di hadapan lembaran-lembaran kuno yang penuh hikmah, kita diajak untuk menjadi pembaca yang bijak, bukan sekadar pengulang yang setia. Kita adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan, dan di pundak kitalah terletak tanggung jawab untuk mengalirkan kebijaksanaan abadi ke dalam wadah zaman yang baru. Kebenaran Ilahi tidak pernah usang, hanya saja pemahaman kita yang perlu terus-menerus diperbaharui, agar cahaya yang sama dapat terus menerangi jalan di setiap era, membimbing kita menuju keadilan, kasih sayang, dan pemahaman yang lebih mendalam tentang eksistensi.

Referensi:
(Ukuran font referensi disarankan 1/2 dari ukuran font badan artikel)
• Armstrong, K. (2009). The Case for God. Knopf.
• Karen, A. (2014). Fields of Blood: Religion and the History of Violence. Knopf.
• Peters, T. (2018). God in the universe: The interplay of science and theology. Fortress Press.
• Ricoeur, P. (1976). Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Texas Christian University Press.
________________________________________
”MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM