Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 7 Juli 2025.
Dalam teater kehidupan yang kerap kali menampilkan lakon absurditas dan tekanan dan ketidakpastian tanpa jeda, manusia, sang aktor utama yang rapuh, menemukan senjata rahasia untuk mempertahankan kewarasannya: humor. Ia bagaikan oase di padang pasir kecemasan, setitik cahaya di tengah kegelapan ketidakpastian. Tawa yang dipicu olehnya bukan sekadar respons fisiologis, melainkan sebuah deklarasi kemenangan jiwa atas kerasnya realitas. Namun, untuk merangkai kata menjadi tarian makna yang menggelitik, dibutuhkan lebih dari sekadar keinginan untuk melarikan diri; ia memerlukan percikan api kecerdasan, sebuah kemampuan untuk melihat benang kusut kehidupan dari sudut pandang yang tak terduga, dan merajutnya kembali menjadi jaring-jaring kelucuan. Inilah paradoks humor: ia adalah perisai sekaligus pedang, pelipur lara sekaligus manifestasi akal budi.
Tekanan dan ketidakpastian adalah dua aksen utama yang menyusun arsitektur kehidupan modern. "Stres kronis yang disebabkan oleh tuntutan hidup yang tak henti-hentinya dan kurangnya kontrol atas banyak aspek kehidupan dapat secara signifikan mengancam kesejahteraan psikologis individu," demikian temuan Lazarus dan Folkman (1984) dalam teori stres dan coping mereka. Dalam konteks ini, humor muncul sebagai mekanisme pertahanan diri yang adaptif. "Humor dapat berfungsi sebagai katup pelepas emosional, memungkinkan individu untuk mengekspresikan dan mengatasi perasaan negatif seperti kecemasan, frustrasi, dan kemarahan dengan cara yang aman dan tidak konfrontatif," jelas Martin (2007) dalam studinya tentang psikologi humor. Humor, sebagai produk humor, menawarkan jeda kognitif dan emosional dari tekanan hidup.
Namun, produksi humor yang efektif, yang mampu membangkitkan tawa dan resonansi, bukanlah tindakan acak. Ia membutuhkan tingkat kognisi yang tinggi. "Humor seringkali melibatkan pemahaman dan resolusi inkongruensi, kemampuan untuk melihat hubungan yang tidak terduga antara ide atau konsep, dan pemikiran divergen untuk menghasilkan perspektif yang lucu," ungkap Beattie (2011) dalam eksplorasinya tentang kaitan antara humor dan inteligensi. Humor yang bermutu tinggi tidak hanya mengandalkan kejutan atau kebodohan, tetapi pada permainan kata-kata yang cerdas, observasi sosial yang tajam, dan kemampuan untuk menyampaikan kebenaran yang mendalam dengan cara yang ringan dan menghibur.
Lebih lanjut, humor juga berfungsi sebagai alat sosial yang ampuh. "Tawa bersama memperkuat ikatan sosial, menciptakan rasa kebersamaan dan solidaritas di antara individu," catat Dunbar (1996) dalam teorinya tentang evolusi bahasa dan grooming sosial. Berbagi humor dapat meredakan ketegangan dalam kelompok, memecah kebekuan, dan meningkatkan suasana positif. Kemampuan untuk membuat orang lain tertawa seringkali dikaitkan dengan kecerdasan sosial dan emosional yang tinggi, menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang dinamika interpersonal dan norma-norma budaya.
Humor bukan sekadar hiburan sesaat, melainkan sebuah mekanisme pertahanan psikologis yang penting dalam menghadapi tekanan dan ketidakpastian hidup. Kemampuannya untuk meredakan stres dan membangun koneksi sosial menjadikannya elemen krusial dalam kesejahteraan manusia. Lebih dari itu, produksi humor yang berkualitas tinggi adalah manifestasi dari kecerdasan kognitif dan sosial, yang melibatkan pemikiran abstrak, kreativitas, dan pemahaman mendalam tentang kompleksitas kehidupan.
Di tengah riuhnya realitas yang tak selalu ramah, tawa yang dipicu oleh humor adalah simfoni jiwa yang menolak untuk menyerah pada keputusasaan. Ia adalah bukti ketangguhan mental manusia, kemampuan untuk menemukan kelucuan bahkan dalam kegelapan. Namun, janganlah kita meremehkan kecerdasan yang tersembunyi di balik setiap baris humor yang cerdas. Ia adalah peta kognitif yang menunjukkan jalan keluar dari labirin logika yang kaku, sebuah ajakan untuk melihat dunia dengan perspektif yang lebih fleksibel dan humanis. Dalam tarian antara tekanan dan tawa, kita menemukan insight mendalam: bahwa kecerdasan sejati tidak hanya terletak pada kemampuan memecahkan masalah yang serius, tetapi juga dalam kemampuan menciptakan kebahagiaan sederhana di tengah absurditas yang tak terhindarkan.
Referensi:
Beattie, G. (2011). Humour and laughter. Palgrave Macmillan.
Dunbar, R. I. M. (1996). Grooming, gossip, and the evolution of language. Harvard University Press.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. Springer Publishing Company.
Martin, R. A. (2007). The psychology of humour: An integrative approach. Elsevier Academic Press.
_______________________________
”MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header