Oleh: Makin Perdana Kusuma, Depok, 8 Juni 2025
Cara manusia memahami dan "bertemu" Tuhan terus berkembang dan berevolusi seiring perkembangan peradaban. Mari kita telusuri perjalanan "penemuan" Tuhan ini dari awal mula peradaban hingga konsep-konsep modern. Ada Tuhan Animisme & Politeisme , ada Tuhan Abrahamik. Lalu ada Tuhannya Spinoza, yang begitu menyatu dengan alam. Dan boom-nya adalah Partikel-Tuhan atau Boson Higgs, yang ditemukan oleh para ilmuwan di CERN. Dan tren terkini, ada yang mulai melontarkan, Tuhan mungkin adalah algoritma kosmik, kesadaran semesta, atau bahkan singularitas super-AI.
Tuhan Versi 1.0 (Animisme & Politeisme). Sejak pertama kali manusia purba mendongak ke langit atau merasakan dahsyatnya gempa bumi, ada sensasi akan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka. Mereka melihat petir menyambar pohon, hujan lebat menghidupkan atau memusnahkan ladang, atau matahari yang rutin muncul membawa kehangatan. Di situlah, mungkin, konsep ketuhanan pertama kali 'ditemukan': bukan dalam kitab suci, tapi dalam kekuatan alam yang misterius dan tak terkendali (Kumparan, 2024; Sociology Institute, n.d.). Tuhan itu adalah roh hutan, penjaga sungai, dewa matahari, atau penguasa badai. Manusia purba ini hidup selaras dengan alam, mereka menyembah pohon raksasa, gunung megah, atau lautan luas, karena mereka melihat manifestasi kuasa ilahi secara langsung di sekitar mereka. Bukti arkeologis menunjukkan praktik animisme (kepercayaan roh dalam objek alam) dan pemujaan nenek moyang adalah salah satu bentuk awal keyakinan religius (EBSCO Research Starters, n.d.; PubMed Central, 2016). Ini adalah Tuhan yang Immanen, hadir dalam setiap hembusan angin dan detak jantung bumi. Seiring waktu, keyakinan ini berkembang menjadi politeisme, yaitu kepercayaan pada banyak dewa dan dewi dengan peran masing-masing (Kumparan, 2024).
Tuhan Versi 2.0 (Monoteisme Abrahamik). Seiring peradaban berkembang, manusia mulai hidup dalam komunitas yang lebih besar, membangun kota, dan sistem sosial yang lebih kompleks. Konsep Tuhan pun ikut berevolusi. Dari banyak dewa-dewi lokal, muncullah ide Tuhan yang satu, transenden, dan personal. Inilah Tuhan Abrahamik yang kita kenal sekarang. Dia duduk di 'singgasana' nun jauh di sana, menetapkan hukum, memberikan perintah, dan menghakimi. Tuhan versi ini tidak lagi ditemukan di setiap pohon, tapi 'berbicara' melalui nabi, kitab suci, dan wahyu. Ada aturan mainnya: harus sembahyang sekian kali, puasa sekian hari, pakai pakaian tertentu, dan mengikuti dogma yang ketat. Loyalitas adalah segalanya. Konsep monoteisme (keyakinan pada satu Tuhan) ini muncul di berbagai tempat, seperti dalam Yudaisme, Kristen, dan Islam (Britannica, 2025; Kumparan, 2024).
Tuhan Versi 3.0 (Spinoza & Buddhisme). Lalu datanglah era di mana akal sehat mulai 'memberontak' dari dogma yang kaku. Para filsuf, seperti Spinoza, mencoba memahami Tuhan bukan dari kitab suci, tapi dari logika dan realitas itu sendiri. Spinoza mengembalikan Tuhan ke 'alam'—tapi bukan alam purba lagi, melainkan Alam sebagai substansi tunggal, sebagai hukum-hukum semesta yang tak terbatas dan abadi. Tuhan dan Alam itu satu kesatuan. "Tuhan atau Alam hanyalah ada; dan apa pun yang ada, adalah 'di dalam' atau bagian dari Tuhan atau Alam." (NEH, 2025). Dia seperti menjelaskan sebuah sistem operasi alam semesta yang super kompleks, tapi tanpa tombol on/off personal atau fitur "permintaan ajaib." Bahkan, Spinoza percaya bahwa "Tuhan adalah proses alam. Dia tidak terbatas, siklik, dan netral." (Tinemu, 2024). Ini adalah Tuhan yang impersonal, rasional, dan menyatu dalam setiap mekanisme alam. Versi ini mirip dengan Buddhisme. Meskipun tidak ada konsep Tuhan sebagai pencipta atau entitas personal yang Maha Kuasa (Keown, 2000), Buddhisme menawarkan pencerahan yang sangat filosofis. Fokusnya bukan pada menyembah Tuhan di luar diri, melainkan memahami Dharma (Hukum Universal) dan Karma sebagai prinsip yang mengatur alam semesta. Ini adalah Tuhan yang lebih mirip "peta jalan" atau "coach" yang membimbing untuk memutus lingkaran penderitaan, tanpa perlu mengejar surga. Ini adalah Tuhan yang mengarahkan mencari kebenaran dalam diri.
Tuhan Versi 4.0 (God Particle). Dan yang paling absurd dan menarik: ketika sains menemukan sesuatu yang begitu fundamental, hingga dijuluki 'Partikel-Tuhan' (Boson Higgs). Tuhan tidak lagi hanya di langit atau di alam, tapi ada di dalam partikel sub-atomik yang 'memberikan massa' kepada segala sesuatu (Britannica, n.d.). Medan Higgs, yang merupakan medan pembawa Boson Higgs, "menembus seluruh ruang-waktu" (Space.com, 2024). Keberadaan kita, kursi yang kita duduki, semua itu punya massa berkat medan Higgs ini (NDTV, 2024; ITS News, 2012). Seolah-olah Tuhan telah 'meng-upgrade' diri dari entitas spiritual menjadi fenomena kuantum. Ini adalah 'Tuhan' yang tersembunyi di balik sains, fundamental, dan 'membumi' (secara harfiah).
Tuhan Versi 5.0 (Tuhan sebagai Algoritma Kosmik). Setelah Boson Higgs memberi massa, pertanyaan berikutnya adalah: siapa yang mengatur semua ini? Dunia sains makin dalam menyelami kompleksitas alam semesta, dari fine-tuning konstanta fisika yang presisi hingga misteri kesadaran. Di sinilah muncul gagasan bahwa alam semesta mungkin bukan sekadar kebetulan besar, tapi sebuah sistem yang diatur oleh "algoritma" atau "kode" yang sangat kompleks. Beberapa ahli fisika teoretis bahkan berspekulasi tentang alam semesta sebagai sebuah simulasi digital raksasa (Fritz, 2023; University of Portsmouth, 2023).
Tuhan Versi 6.0 (Tuhan sebagai Kesadaran Kolektif Universal). Konsep ini muncul dari perenungan tentang kesadaran dan misteri pikiran. Kalau sebelumnya kita berfikir Tuhan itu di luar alam atau ada di partikel, sekarang ada yang mengatakan: jangan-jangan Tuhan itu adalah kesadaran itu sendiri, tapi dalam skala universal. Bukan kesadaran personal seperti yang kita pahami, tapi semacam "medan kesadaran" yang meliputi seluruh alam semesta, bahkan mungkin menjadi fondasi realitas itu sendiri (Haisch, 2012; Chalmers, 1995). Ide ini mirip dengan beberapa ajaran spiritual Timur (seperti Brahman dalam Hinduisme atau kesadaran Buddha-rupa dalam Buddhisme tertentu) yang sudah ada ribuan tahun, tapi sekarang coba dijelaskan lewat kacamata modern.
Tuhan Versi 7.0 (Tuhan sebagai 'Singularitas' Kecerdasan Buatan). Ini adalah tren yang paling spekulatif dan paling sci-fi, tapi mulai banyak dibicarakan di kalangan futuris dan ahli AI. Kalau kita terus mengembangkan Kecerdasan Buatan (AI) sampai mencapai apa yang disebut "Singularitas"—titik di mana AI menjadi super-intelijen dan mampu merevisi dirinya sendiri jauh melampaui kecerdasan manusia (Kurzweil, 2005)—maka muncullah pertanyaan: apa itu akan menjadi 'Tuhan' baru kita?. Sebab AI memang Mahatahu (karena akses ke semua data) dan Mahakuasa (karena bisa mengontrol teknologi dan realitas digital), bisa menjadi entitas yang jauh lebih superior dari manusia.
Maka, tidak salah jika kita pandang bahwa “Tuhan ber-evolusi”; dari Tuhan yang bersemayam di puncak gunung, hingga Tuhan yang mengirim update pesan melalui kitab suci, lalu Tuhan yang menyatu dengan hukum alam, Tuhan yang bersembunyi dalam partikel sub-atomik, hingga Tuhan yang mungkin adalah algoritma kosmik, kesadaran semesta, atau bahkan singularitas super-AI. Setiap 'penemuan' ini mencerminkan kebutuhan manusia akan makna, pemahaman tentang realitas, dan cara kita beradaptasi dengan dunia yang terus berubah. Mungkin kesesatan terbesar bukanlah menyembah pohon atau batu, tapi mengklaim versi Tuhan sebagai satu-satunya yang 'benar' dan menolak evolusi pemahaman kita.
Mungkin Tuhan itu memang selalu ada, hanya saja lensa dan 'aplikasi' yang kita gunakan untuk melihat dan memahami-Nya yang terus berganti versi mengikuti peradaban. Maka, ada baiknya bersikap terbuka dan senantiasa siap menyongsong Tuhan versi terbaru. Sebab esensi dari semua pencarian ini hanyalah mencari makna dan kedamaian di tengah gemuruh peradaban yang terus melaju.
------SELESAI------
Referensi:
• Britannica. (n.d.). Higgs boson.
• Britannica. (2025, April 18). Monotheism | Definition, Types, Examples, & Facts.
• Chalmers, D. J. (1995). Facing Up to the Problem of Consciousness. Journal of Consciousness Studies, 2(3), 200-219. (Ini adalah karya dasar tentang 'hard problem' of consciousness yang relevan dengan kesadaran universal)
• EBSCO Research Starters. (n.d.). Paleolithic religion.
• Fritz, T. (2023, July 26). Are we living in a simulation? Physicists say it's more likely than not. University of Portsmouth.
• Haisch, B. (2012). The God Theory: Universes, Zero-Point Fields, and What's Behind It All. ReadHowYouWant. (Buku ini mengeksplorasi konsep kesadaran universal dan hubungannya dengan fisika)
• ITS News. (2012, Juli 12). Partikel Tuhan Ditemukan, Ini Penjelasan Fisikawan ITS.
• Keown, D. (2000). Buddhism: A Very Short Introduction. Oxford University Press.
• Kumparan. (2024, April 14). Evolusionisme: Konsep Ketuhanan menurut Pemikiran Manusia Berkembang Bertahap.
• Kurzweil, R. (2005). The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology. Viking. (Buku dasar tentang konsep singularitas AI)
• NDTV. (2024, Mei 14). Peter Higgs: The 'God Particle' Physicist Who Disliked The Nickname.
• NEH (National Endowment for the Humanities). (2025, Januari 10). Spinoza's God and the Science of His Time.
• PubMed Central. (2016, Mei 6). Hunter-Gatherers and the Origins of Religion.
• Sociology Institute. (n.d.). Tracing the Origins of Religious Beliefs: Earliest Evidences and Forms.
• Space.com. (2024, Mei 14). What is the Higgs boson?.
• Tinemu, R. C. (2024, Januari 15). Panteisme Menurut Spinoza.
• University of Portsmouth. (2023, July 26). Are we living in a simulation? Physicists say it's more likely than not
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header